- Penentuan raja baru Keraton Solo sepenuhnya urusan internal lewat musyawarah keluarga besar.
- Aturan adat “angkir-angkir” jadi pedoman suksesi, dengan hak utama pada putra dari permaisuri.
- Publik berharap suksesi berjalan damai agar Keraton Surakarta tetap jadi simbol budaya dan harmoni.
SuaraJawaTengah.id - Wafatnya Susuhunan Pakubuwono XIII menandai berakhirnya satu babak penting dalam sejarah Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Namun, di balik duka tersebut, muncul pertanyaan besar: siapa yang akan meneruskan tahta? Proses penentuan raja baru di Keraton Solo bukan hal sederhana.
Ada tahapan panjang, aturan adat, hingga musyawarah keluarga besar yang harus dilalui.
Sebagaimana dikutip dari berbagai sumber di YouTube. Berikut lima hal menarik tentang bagaimana Keraton Solo memilih penerus takhta barunya.
Baca Juga:Tak Hanya di Semarang, Kota Surakarta Disiapkan Menjadi Kota Metropolitan Baru di Jawa Tengah
1. Penentuan Raja Adalah Urusan Internal Keraton
Menurut R. Surojo, sejarawan sekaligus pemerhati budaya Jawa, penunjukan raja baru sepenuhnya merupakan urusan internal keluarga besar keraton. Tidak ada campur tangan pihak luar, karena hal ini menyangkut kelangsungan tradisi dan hukum adat yang sudah turun-temurun.
Prosesnya dilakukan melalui musyawarah besar yang dihadiri keluarga inti dan para sesepuh. Musyawarah inilah forum tertinggi di dalam keraton yang menentukan siapa sosok paling layak menduduki tahta.
Bagi masyarakat Jawa, musyawarah semacam ini bukan hanya ajang politik keluarga, tetapi juga perwujudan nilai luhur “rukun agawe santosa” harmoni sebagai dasar kekuatan.
2. Ada Pedoman Adat yang Disebut “Angkir-Angkir”
Dalam menentukan penerus tahta, keraton memiliki aturan adat yang dikenal dengan sebutan angkir-angkir. Aturan ini menjadi dasar hukum dalam segala keputusan internal, termasuk suksesi raja.
Surojo menyebut proses ini mirip dengan penyusunan anggaran dasar dalam organisasi modern. Artinya, sebelum nama calon raja diputuskan, seluruh pihak harus terlebih dahulu menyepakati dasar hukumnya.
Hal ini penting agar keputusan tidak menimbulkan perpecahan di kemudian hari. Dengan demikian, tradisi dan hukum adat tetap menjadi pedoman tertinggi di atas kepentingan pribadi maupun politik keluarga.
3. Putra dari Permaisuri Memiliki Hak Utama atas Tahta
Salah satu poin penting dalam angkir-angkir adalah tentang garis keturunan. Dalam tradisi Keraton Surakarta, anak laki-laki dari permaisuri resmi memiliki hak utama sebagai calon penerus tahta.
Pakubuwono XIII diketahui memiliki empat istri, dan masing-masing dikaruniai anak laki-laki. Namun, hanya satu dari mereka yang diangkat secara resmi sebagai permaisuri, yaitu Kanjeng Ratu Asih Minarni. Berdasarkan adat, anak dari permaisuri inilah yang secara tradisional berhak menempati posisi pewaris utama.
Salah satu nama yang banyak disebut dalam konteks ini adalah Kanjeng Gusti Pangéran Haryo (KGPH) Purboyo, putra dari Kanjeng Ratu Asih Winarni. Sosok muda ini disebut-sebut memiliki peluang besar untuk meneruskan takhta sebagai Pakubuwono XIV.
4. Musyawarah Besar Menjadi Kunci Penetapan Raja Baru
Meski garis keturunan penting, keputusan akhir tetap berada di tangan musyawarah keluarga besar. Adik mendiang Pakubuwono XIII, KGPH Suryok Wicaksono atau yang akrab disapa Gusti Nino, menegaskan bahwa penentuan raja harus dibicarakan bersama para sesepuh dan dewan adat keraton.
Forum ini akan melibatkan banyak pihak, antara lain keluarga inti Pakubuwono XIII, permaisuri, sesepuh, Dewan Abdad Keraton, serta lembaga internal lain seperti KGP-HPA Tejauhulan. Dengan sistem kolektif seperti ini, diharapkan keputusan yang diambil tidak menimbulkan konflik sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu.
Musyawarah menjadi simbol keseimbangan antara tradisi dan kebijaksanaan. Dalam sejarah panjang keraton, keputusan yang lahir dari mufakat selalu dianggap membawa berkah dan ketenteraman bagi seluruh abdi dalem serta masyarakat pendukungnya.
5. Harapan agar Suksesi Berjalan Damai
Keraton Surakarta bukan hanya pusat budaya Jawa, tetapi juga simbol keharmonisan dan keteguhan adat. Karena itu, setiap kali terjadi suksesi raja, masyarakat berharap prosesnya berjalan damai tanpa gejolak.
Gusti Nino bahkan secara terbuka menyampaikan harapannya agar penunjukan penerus Pakubuwono XIII kali ini tidak menimbulkan perpecahan seperti yang pernah terjadi sebelumnya
Perpecahan yang dimaksud mengacu pada konflik internal di masa lalu, ketika Keraton Surakarta sempat mengalami dualisme kepemimpinan.
Dari pengalaman itulah, kini para sesepuh bertekad agar transisi kepemimpinan kali ini berlangsung dengan penuh kebersamaan dan menghormati adat.
Lebih dari sekadar pergantian takhta, penunjukan raja baru di Keraton Solo memuat nilai-nilai filosofis yang dalam.
Dalam pandangan budaya Jawa, seorang raja bukan hanya pemimpin administratif, melainkan juga “pangayoming bawana” pelindung dunia dan penjaga keseimbangan hidup.
Surojo menekankan bahwa inti dari tradisi musyawarah bukanlah siapa yang menang atau kalah, tetapi bagaimana keraton tetap utuh dan dihormati. Itulah sebabnya, setiap proses suksesi dijalankan dengan hati-hati, penuh tata krama, dan berlandaskan etika leluhur.
Ritual adat, doa, dan simbol-simbol spiritual menyertai setiap tahap penetapan. Semua ini mencerminkan keyakinan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari restu Tuhan dan penerimaan masyarakat.
Kini, publik menantikan keputusan akhir siapa yang akan dinobatkan sebagai Pakubuwono XIV.
Nama KGPAA Hamangkunegoro alias Gusti Purbaya yang telah menyandang gelar Putra Mahkota disebut memiliki posisi kuat dalam tradisi suksesi ini.
Namun sebagaimana ditegaskan para sesepuh, keputusan resmi baru akan diambil setelah musyawarah selesai dan semua pihak mencapai kesepakatan.
Apapun hasilnya, harapan masyarakat tetap sama: agar Keraton Surakarta terus menjadi penjaga nilai-nilai budaya Jawa dan simbol persatuan yang damai.
Dalam keheningan tembok keraton yang telah berdiri lebih dari dua abad, sejarah kembali menunggu babak barunya sebuah kisah tentang pewarisan tahta, kebijaksanaan leluhur, dan harmoni yang tak lekang waktu.
Kontributor : Dinar Oktarini