Mengenang Pertempuran Sengit di Macanan, Pengorbanan Heroik 12 Warga Melawan Penjajah Belanda

Revolusi RI kompleks, melibatkan rakyat biasa & "jagoan". Muntilan 1948: aksi bumi hangus gagal, warga Macanan berkorban selamatkan ribuan pengungsi.

Budi Arista Romadhoni
Senin, 10 November 2025 | 21:16 WIB
Mengenang Pertempuran Sengit di Macanan, Pengorbanan Heroik 12 Warga Melawan Penjajah Belanda
Ilustrasi pertempuran melawan penjajah Belanda. [AI/ChatGPT]
Baca 10 detik
  • Revolusi fisik 1945–1949 tak hanya milik tentara; rakyat biasa, laskar, dan jagoan juga turut berjuang.
  • Muntilan jadi saksi perang sengit dan pengorbanan warga, terutama 12 warga Macanan yang gugur melawan Belanda.
  • Kisah ini menegaskan heroisme tanpa pamrih rakyat kecil, pahlawan sejati yang sering terlupakan sejarah.

SuaraJawaTengah.id - Kisah pinggiran era revolusi fisik Indonesia 1945-1949 tidak selalu tentang nasionalisme. Situasi perang secara intuitif membentuk rasa senasib seperjuangan diantara orang-orang biasa.

Keterlibatan kelompok—dari yang relatif terogranisir hingga paling liar—macam laskar, begal, hingga gerombolan kecu dalam perang melawan Belanda, sahih tak terbantahkan.

Bahwa merekalah yang menjadi korban pertama Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara pasca Indonesia merdeka, masih menjadi kajian kritis hingga hari ini.  

Salah satu hasil penelusuran paling komprehensif yang mengetengahkan tema ini adalah buku “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1950”.  

Baca Juga:Terlupakan dalam Sejarah: Kisah Heroik Soeprapto Ketjik di Magelang, Berani Melawan Tentara Jepang

Robert Cribb menyajikan catatan sejarah koalisi dunia hitam Jakarta dan kelompok muda radikal nasionalis dalam bentuk Lasykar Rakyat Jakarta Raya.

Koalisi ini menurut Robert Cribb membentuk hubungan penting yang sudah terbentuk sebelum Perang Dunia II. Kaum nasionalis menilai para jagoan punya keahlian bertarung yang berguna dalam perjuangan melawan penjajah.  

Kajian dalam buku itu membantu membuktikan bahwa akar sosial revolusi Indonesia lebih kompleks dari yang diduga oleh para sejarawan intelektual gerakan nasionalis.

Dalam kronik sejarah perang di Jawa, keterlibatan rakyat jelata mengangkat senjata, terentang dari Perang Jawa tahun 1825-1830 hingga Agresi Militer Belanda II 1948.

Belanda pasca Perang Jawa, bahkan merasa penting untuk meredam kekuatan Islam yang dianggap sebagai bahan bakar perjuangan revolusioner.

Baca Juga:Kisah Mengejutkan Tentara India yang Membela Indonesia di Perang 10 November 1945

Penjajah kemudian menjauhkan Islam dari elit pribumi agar dominasi kekuasaan Belanda di Jawa terus dalam keadaan aman. Ada trauma bahwa Perang Diponegoro berkobar hebat karena dukungan ratusan kiai pedesaan.

Muntilan Jelang Agresi Belanda II

Muntilan menjelang Desember 1948 sudah menjadi rumah bagi berbagai latar belakang etnis. Mayoritas orang Tionghoa tinggal di Muntilan sebagai akibat dari berlakunya aturan Wijkenstelsel.

Aturan Belanda ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda. Setelah peristiwa pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tiongkok tidak boleh bermukim di sembarang tempat.

Pemerintah kolonial mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan Passenstelsel dan Wijkenstelsel. Sehingga mereka tinggal mengelompok di setra-sentra ekonomi orang Tionghoa di perkotaan.

“Situasi di Muntilan itu unik. Di situ seperti dunia antah berantah. Banyak sekali pendatang. Di samping juga banyak perampok di masa clash pertama sampai Serangan Umum 1 Maret,” kata Gati Andoko, alumni Jurusan Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini