Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Jum'at, 03 Januari 2020 | 18:29 WIB
Aksi unjuk rasa di SPBU Karangkobar Banjarnegara terkait larangan beli pertalite pakai jeriken. [Suara.com/Khoerul]

SuaraJawaTengah.id - Kebijakan larangan membeli pertalite menggunakan jeriken oleh Pertamina menuai polemik di masyarakat. Sejumlah masyarakat dari berbagai kecamatan di Kabupaten Banjarnegara hari ini, Jumat (3/1/2020), menggelar demonstrasi di SPBU Kecamatan Karangkobar.

Mereka terdiri dari berbagai elemen, mulai petani, pedagang eceran, hingga tukang ojek yang biasa memanfaatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite.

Menurut perwakilan demonstran yang juga petani kentang asal Desa Sumberejo Kecamatan Batur Dwi Edi, aksi ini untuk memprotes kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Akibat pelarangan yang disebutnya mulai tanggal 1 Januari 2020 lalu, terjadi kelangkaan BBM di desa-desa.

Padahal masyarakat setiap hari mengandalkan suplai BBM, khususnya pertalite dari pengecer untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar mesin mereka. Ia mempertanyakan kebijakan itu lantaran pertalite tidak termasuk BBM bersubsidi.

Baca Juga: SPBU Tak Layani Truk Beli Solar, Sopir: Kalau Pakai Jeriken, Kok Boleh?

"Harusnya petani dapat BBM bersubsidi. Ini pertalite tidak bersubsidi kok ya masih dibatasi," katanya

Dwi mengatakan, warga desanya dan desa-desa sekitar selama ini sangat bergantung dari persediaan BBM di pengecer. Meski warga harus membeli sedikit lebih mahal, Rp 8.800 untuk pertalite dan Rp 11.500 untuk pertamax dari harga di SPBU. Masalahnya, keberadaan SPBU jauh dari tempat tinggal warga, terutama yang berada di desa terpencil. Terlebih kondisi geografis Banjarnegara bagian atas berbukit yang membuat akses warga ke kecamatan sulit.

Di Banjarnegara bagian atas, hanya ada dua SPBU, yakni di kecamatan Karangkobar dan di Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur. Dua SPBU itu harus melayani kebutuhan masyarakat di beberapa kecamatan di sekitarnya.

Menurut Dwi, kalangan petani di dataran tinggi Dieng sangat dirugikan atas kebijakan ini. Ia sendiri dalam sehari rata-rata membutuhkan empat liter pertalite untuk menghidupkan mesin yang dipakainya untuk merawat tanaman. Padahal sebagian besar petani di Dieng, khususnya petani kentang, sudah memanfaatkan mesin berbahan bakar minyak untuk perawatan lahan mereka. Alasannya tentu saja efisiensi.

"Kalau pakai manual bisa dua hari, tapi kalau pakai mesin bisa selesai dua jam,"katanya

Baca Juga: Jual Premium Dimasukan ke Jeriken, 7 SPBU di Aceh Dihukum Pertamina

Namun ia mengaku mulai bingung karena pertalite tak lagi dijual di pengecer. Jika menggunakan pertamax, biaya operasional petani semakin membengkak. Sementara hasil panen kentang sering kali anjlok hingga petani merugi. Ia mengaku banyak petani yang bernasib sama dengannya. BBM sudah menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa dihindari bagi petani.

Load More