Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Jum'at, 28 Februari 2020 | 21:16 WIB
Kantor Mahkamah Agung RI

SuaraJawaTengah.id - Mahkamah Agung (MA)  menimbulkan permasalahan baru melalui langkah penerbitan Surat Edaran No 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. Dalam Surat Edaran MA (SEMA) tersebut, terdapat aturan soal pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman TV. Sebelum melakukan ketiganya, seseorang harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri (PN).

Aturan itu tertera dalam Tata Tertib Umum poin ke-3. Berdasarkan Tata Tertib Persidangan, pelaksanaan aturan tersebut bahkan dipertegas dengan ancaman pemidanaan pada poin ke-8, yang berbunyi "dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya."

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta lantas menilai, aturan ini jelas berpotensi menjadi hambatan baru bagi jurnalis dalam menjalankan tugas dan bertentangan dengan hak publik dalam mendapatkan informasi di pengadilan. Tak hanya itu, aturan ini juga bertentangan dengan jaminan kebebasan pers dalam Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (3) UU Pers menyebutkan, "untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi."

"Dengan jaminan UU Pers, maka semestinya tidak ada aturan lain yang menghambat pers mencari dan memperoleh informasi. Bahkan pasal 19 UU Pers menyebutkan, tindakan yang menghambat atau menghalangi tugas pers mencari dan menyebarkan informasi bisa dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda Rp500 juta," ungkap Ketua AJI Surakarta Adib M Asfar dalam rilis yang diterima Suara.com, Jumat (28/2/2020).

Baca Juga: Rastafari Datang, HangTuah Akhiri Tren Negatif

Melalui SEMA ini, AJI Surakarta menyatakan, MA telah membuat aturan yang bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Apalagi, ancaman pidana seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan aturan seperti SE Mahkamah Agung.

Di samping bertentangan dengan UU Pers, aturan dalam SEMA ini, lanjut Adib, juga tidak sejalan dengan prinsip persidangan yang terbuka untuk umum, di mana pada Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan, "untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak."

Adib menegaskan, persidangan yang terbuka adalah hak bagi masyarakat, termasuk terdakwa, agar proses yang berlangsung jelas, terang dilihat, dan diketahui masyarakat, sehingga persidangan tak boleh berlangsung secara "gelap" dan bisik-bisik.

Jika memfoto dan merekam persidangan disertai syarat memfoto dan merekam seizin Ketua PN, jurnalis tak bisa bebas melakukan tugasnya.

"Ketua pengadilan bisa saja menolak memberikan izin dengan berbagai alasan dan kepentingan," terang Adib.

Baca Juga: Gandeng Erajaya dan Tokopedia, Google Luncurkan Nest Mini di Indonesia

Karenanya, AJI Surakarta menyatakan sikap sebagai berikut:

Load More