Pebriansyah Ariefana
Minggu, 09 Agustus 2020 | 14:48 WIB
Waria di Semarang. (Suara.com/Dafi)

Meski terlihat lelah, Hani masih bersemangat untuk bercerita soal perjalanannya sebagai waria.

“Sebenarnya masih banyak cerita, tapi saya ceritanya pas sudah sampai tempat tujuan kita saja ya” katanya.

Langit mulai mendung, pertanda Kota Semarang akan segera diguyur hujan dalam hitungan menit. Dugaan itu benar, selang lima menit hujan benar-benar turun. Beberapa pakaian kami basah, untungnya tempat yang kita tuju sudah dekat.

“Waduh teles kabeh,” cletuk Hani setelah kehujanan.

Setiba di tempat tujuan, Hani mencari tempat yang berdekatan dengan kipas angin dengan harapan agar baju yang dia pakai lekas kering. Selanjutnya, kopi dan tahu goreng menjadi pembuka dari obrolan kami selanjutnya.

Nasib Waria Saat Pandemi Covid-19

Adzan maghrib berkumandang, suara gemuruh hujan semakin hingar mengiringi hari yang mulai petang. Sembari menunggu adzan maghrib, Hani membalas pesan WhatsApp dari temannya yang sebelumnya belum sempat ia balas.

Jam menunjukan pukul 18.30 WIB, Hani mulai melanjutkan ceritanya tentang diskriminasi yang menimpa teman waria selama Covid-19 di Kota Semarang. Beberapa teman waria Hani tidak bisa mendapatkan bantuan Covid-19 karena tidak mempunyai identitas diri.

Menurutnya, identitas diri merupakan masalah klasik yang sering kali menjadi masalah bagi para waria. Selain itu, pandangan masyarakat terhadap waria masih negatif.

Baca Juga: KSAD Ditunjuk Jadi Wakil Ketua Komite Covid-19, DPR Bilang Begini

“Masih banyak masyarakat yang memandang waria itu sebelah mata bahkan kesannya itu negatif. Sering kali dibuat ejekan. Padahal kita kan manusia ya, yang berhak untuk hidup di negara kita,” keluhnya.

Meski mengeluh, Hani tetap sadar fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Ia dan teman-temannya tak bisa memaksakan kehendak masyarakat.

Hani dan teman-temannya hanya bisa mawas diri, yang terpenting anggota Perwaris harus sopan dan baik kepada siapapun.

Menurutnya, Perwaris merupakan rumah keduanya. Di komunitas tersebut ia bisa bertemu dengan seorang teman yang mempunyai nasib sama yaitu sama-sama waria. Hal itu wajar lantaran Perwaris merupakan komunitas yang mempunyai anggota semuanya adalah waria.

Baginya, pewaris tidak hanya komunitas melainkan keluarga baru yang setiap saat melindungi dan memperjuangkan hak Hani dan teman-temannya sebagai warga negara Indonesia.

Menurutnya,itulah alasan Hani kenapa sampai saat ini ia bertahan di sebuah organisasi yang telah berdiri sejak 2006 tersebut. Jika ia hitung, sampai saat ini anggota Perwaris sekitar 125 waria.

Load More