Dwi Bowo Raharjo
Senin, 10 Agustus 2020 | 04:50 WIB
Anak-anak di RW 2 Desa Pasuruhan berburu sinyal sampai ke makam. (Suara.com/Khoirul)

Ia mengaku awalnya anaknya takut belajar di makam. Namun lama-lama, setelah terbiasa, ketakutan itu memudar. Apalagi anaknya tidak sendirian, ada sejumlah anak lain yang tiap jam sekolah pergi ke makam untuk mengikuti pembelajaran daring.

"Tiap hari ada sekitar 10 anak belajar di makam,"katanya

Dalam pembelajaran daring yang diikuti anaknya, guru selalu memberikan tugas tiap hari. Para siswa telah mendapat buku pegangan sejak awal tahun ajaran. Guru tinggal memberikan instruksi melalui aplikasi perpesanan (Whatsapp).

Misalnya, siswa disuruh mempelajari materi tertentu di buku itu lalu diminta menjawab soal-soal pada halaman yang ditentukan.

Siswa harus mengerjakan tugas itu dengan menuliskannya di buku tulis. Jawaban itu kemudian difoto lalu dikirim melalui aplikasi perpesanan untuk dikoreksi sang guru.

"Jawaban difoto terus diupload. Nanti dinilai sama guru," katanya

Tuntutan pembelajaran daring mendorong orang tua di desa untuk membeli smartphone bagi anaknya. Tak hanya membeli, mereka harus "menghidupi" perangkat itu dengan paket internet agar bisa digunakan. Halimah bahkan mengaku harus berhutang agar bisa membeli smartphone untuk mendukung pembelajaran anaknya.

Selain masalah sinyal yang susah, orang tua keberatan dengan kuota internet yang mahal.

Orang tua siswa lainnya, Tinah mengeluhkan beban pengeluaran yang lebih untuk membeli kuota internet. Ia yang hanya berprofesi sebagai petani merasa keberatan untuk menanggung paket internet.

Baca Juga: Gadis SMK Tinggal di Kandang Ayam, Terpaksa Beli HP untuk Belajar Online

Tidak sampai sebulan, paket data sebesar 6 GB sudah habis karena pemakaian yang boros, khususnya untuk pembelajaran daring. Maklum saja, terkadang anaknya harus mengirim video praktik yang memakan banyak kuota.

Jika mewajibkan pembelajaran daring, harusnya pemerintah memfasilitasi siswa agar mudah mengakses internet. Namun yang terjadi di kampung ini sebaliknya. Beban orang tua siswa yang hidupnya susah bertambah berat karena harus memikirkan biaya untuk membeli kuota internet.

Sinyal pun sulit didapat sehingga anak harus bersusah naik dataran yang lebih tinggi, termasuk ke kuburan untuk mendapatkan sinyal.

"Harapannya ada bantuan kuota atau fasilitas wifi untuk anak-anak,"katanya.

Kontributor : Khoirul

Load More