Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 09 Oktober 2020 | 14:54 WIB
Sejumlah perajin dan pekerja jamu tradisional menggelar aksi di lapangan Desa Gentasari, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Senin (5/10/2020). (ISTIMEWA)

SuaraJawaTengah.id - Seorang perajin jamu tradisional, Gerisah, 58, asal Desa Mujur, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, yang sudah berkecimpung lama dalam bisnis usaha jamu tradisional mengaku dimintai uang oleh oknum polisi berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) AW yang bertugas di Mabes Polri.

Ia mengisahkan awal mula didatangi oleh rombongan kepolisian pada Bulan Februari 2020 lalu.

"Saya itu didatangi Mabes 8 Februari ke rumah. Datang terus intinya barang yang ada, dibawa ke Mabes, sedikit sih ga banyak untuk barang bukti. Tawas (bahan baku jamu) sama yang sudah jadi mungkin ya 100 biji," katanya saat dihubungi Suara.com, Jumat (9/10/2020).

Ia juga turut serta dibawa menggunakan mobil oleh petugas kepolisian yang berjumlah empat orang. Namun dirinya tidak langsung menuju Mabes Polri. Karena takut jika sendirian, ia minta ditemani suaminya.

"Saya langsung dibawa naik mobil tujuannya ke Purwokerto dulu. Di Purwokerto itu di parkiran sebuah hotel di dalam mobil terus sampai jam 9 malam. Saya dikasih makan, tapi dimakan di dalam mobil," ujarnya.

Hingga akhirnya setelah lewat jam 21.00 WIB, dirinya dipindahkan ke dalam bus untuk dibawa ke Mabes Polri. Ada empat perajin jamu dalam satu rombongan, namun dirinya tidak mengetahui siapa saja karena dipisah satu sama lain.

"Sejak di dalam bus itu dipisah, ada yang di belakang ada yang di tengah, mencar. Tidak ngobrol satu sama lain," jelasnya.

Saat di Mabes Polri ia langsung di bawa ke sebuah ruangan di lantai 7. Dari situlah proses pemerasan itu terjadi. Namun dirinya mengaku terjadi proses tawar menawar yang tadinya diminta sebanyak Rp1 miliar lebih.

Ia tidak secara langsung bertemu dengan oknum polisi yang memeras. Namun melalui seorang pengacara dari pihak kepolisian.

"Ya minta uangnya ceritanya, bisa nolongin saya dengan catatan ada uang. Terus sampai tawar menawar, tadinya sampai Rp1 miliar lebih tapi saya ga sanggup. Saya nawar sampai Rp100 apa 200 juta. Terus dijawab, 'waduh ga bisa kalau segitu bu'. Terus Rp 300 juta ga bisa, sampai Rp 500 juta juga masih ga bisa. Selama dua hari yang diomongin duit, duit, duit saling tawar menawar," lanjutnya.

Karena dirinya tidak memiliki uang sebanyak itu yang harus dibayar dalam jangka waktu hitungan hari, ia akhirnya harus mencari pinjaman ke saudara dan tetangganya.

"Ya ga sanggup, wong duit segitu. Saya vakum itu sudah 15 tahunan (bisnis jamu). Saya boro-boro segitu, Rp50 juta saja ga ada di ATM. Sempat jual apa saja itu lah. Terus tetangga mau beli sawah sudah jadi tinggal, anak-anak saya yang ngomong pokoknya pinjem dulu karena mama saya lagi kaya gini-gini. Terus saudara mau beli rumah di Bandung sudah tinggal bayar juga saya ngomong pinjam," tuturnya.

Ia mengaku, dirinya sudah memberi uang sebesar Rp700 juta secara bertahap sampai empat kali. Dikirim ke rekening atas nama pengacara dari pihak kepolisian.

Karena saat bertemu selama 2 hari di kantor tersebut dirinya terus ditanyakan perihal jaminan uang sebesar yang telah disepakati. Ia dijanjikan setelah memberikan uang akan menutup perkara yang sedang berjalan.

"Sana kasih embel-embel. Pokoknya ibu pulang dari sini tidak usah takut-takut buka saja lagi buat gantiin yang ini. Malah disuruh produksi lagi, aktifitas seperti biasa. Malah kasih contoh, si A si B si C sampai sekarang tetap masih jalan, jadi saya disuruh produksi lagi," ujarnya.

Namun dirinya mengaku takut jika harus produksi lagi. Tapi karena masih menyimpan bahan, jika terlalu lama disimpan tidak bisa dipakai. Akhirnya dirinya terpaksa memproduksi dengan bahan sisa yang sudah ada.

Awal ia dimintai uang sebagai jaminan penutupan perkara bermula saat produksi jamunya di gerebek dengan alasan tidak berijin. Selama berbisnis jamu tradisional ia mengaku baru pertama kali terlibat kasus seperti ini.

"Ini karena ilegal tidak berijin. Berarti pemalsuan. Saya bikinnya itu polos, tidak ada merknya. Lalu dipermasalahkan sama kepolisian. Saya baru merintis lagi sekitar satu tahun setelah vakum," katanya.

Berdasarkan data yang dihimpun, terdapat sedikitnya sembilan perajin jamu yang diminta sejumlah uang hingga total hampir mencapai Rp6 Miliar. Namun jumlah tersebut masih ada kemungkinan bertambah karena ada perajin yang tidak melaporkan karena takut.

Hingga akhirnya pada Senin (5/10/2020) ratusan perajin dan pekerja jamu tradisional menggelar aksi di lapangan Desa Gentasari, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, menuntut kasus ini diusut oleh pihak berwenang.

Sementara itu, Kapolres Cilacap, AKBP Derry Agung Wijaya, mengatakan saat ini pihaknya telah membetuk tim khusus untuk menyelidiki kasus tersebut.

"Tim sudah dibentuk, tim yang dibentuk sudah mulai bergerak. Kita sedang melakukan pulbaket (pengumpulan badan keterangan). Penyelidikan ini sementara masih terus berjalan, karena masih perlu digali lagi ke lapangan," tegasnya.

Kontributor : Anang Firmansyah

Load More