Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 13 Oktober 2020 | 08:39 WIB
Ketika massa aksi ditangkap oleh polisi (Suara.com/Dafi Yusuf) 

SuaraJawaTengah.id - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Jawa Tengah atau PBHI Jateng mengungkapkan ada 260 orang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh aparat keamanan saat unjuk rasa atau demo omnibus law UU Cipta Kerja. Korban itu berjatuhan korban sepanjang pekan lalu.

Ketua PBHI Jateng, Kahar Muamalsyah, mengatakan data tersebut dikumpulkan PBHI Jateng dari aduan dan laporan yang masuk ke PBHI.

 “Selama aksi penolakan RUU Cipta Kerja, PBHI membuka posko pengaduan dan melakukan pemantauan di wilayah Jakarta, Jogja, Jateng, Jabar, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Lampung,” ujar Kahar, dilansir dari Solopos.com Senin (12/10/2020).

Selama aksi unjuk rasa menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja, PBHI mengaku menemukan dan mengidentifikasi berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian. Pelanggaran itu dilakukan aparat polisi saat melakukan pengamanan aksi.

Baca Juga: Rekayasa Lalu Lintas Agar Tak Terjebak Macet Demo FPI Tolak UU Cipta Kerja

Kahar mengatakan pelanggaran itu teridentifikasi dalam berbagai tindakan seperti melakukan larangan dan sweeping kepada peserta aksi sebelum aksi dimulai. Lalu, melakukan tindakan brutal dan represif selama aksi berlangsung baik secara verbal, pemukulan, pengeroyokan, hingga menembakkan gas air mata ke arah kaki atau tubuh demonstran.

“Selain itu, aparat juga melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang [arbitrary arrest and detention] kepada sekitar 2.643 orang yang tersebar di 10 wilayah di Indonesia,” imbuh Kahar.

Kahar menambahkan jumlah korban pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian ini berpotensi bertambah. Hal itu menyusul terus meningkatnya jumlah pengaduan yang diterima PBHI.

“Pelanggaran HAM juga teridentifikasi dari penyiksaan yang dilakukan kepada massa aksi yang tertangkap dan ditahan. Mereka ditelanjangi dan dipukul. Selain itu, aparat kepolisian juga menghalangi akses layanan hukum dari PBHI ke massa aksi yang ditangkap dan ditahan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Kahar mengatakan tindakan represif aparat juga dilakukan dengan melakukan tes Covid-19 secara paksa tanpa konsensus dan dasar hukm yang jelas. “Seperti yang terjadi di Sumatra Utara di mana 21 orang di tes dan 201 orang di Jabar. Padahal, mereka justru mengumpulkan massa aksi yang ditangkap dan ditahan tanpa mematuhi protokol Covid-19 seperti memberi masker dan jaga jarak,” jelasnya.

Baca Juga: Buruh Curiga Jokowi Akan Intervensi Gugatan UU Cipta Kerja ke MK

Atas tindakan aparat selama proses pengamanan aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja itu, PBHI pun menyatakan tindakan tersebut melanggar kebebasan HAM yang dijamin UUD 1945, UU No.39/1999, UU No.9/1998, Perkap No.9/2008, UU No. 23/2000, UU No.11/2012, Perkap No.1/2009, dan Perkap No. 8/2009.

“Kami mendesak Presiden, Komnas HAM, KPAI, dan Ombudsman mengusut tuntas seluruh pelanggaran itu. Kami juga meminta pemerintah membuka akses layanan bantuan hukum ke seluruh massa aksi yang ditangkap dan ditahan,” tegas Kahar.

Load More