Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 30 Oktober 2020 | 17:37 WIB
Wawan berinteraksi dengan musang pandan bermotif bulu mozaik di penangkaran miliknya di Desa Grajek, Mungkid, Kabupaten Magelang (Suara.com/ Angga Haksoro). 

“Dulu satu bulan bisa jual 1-2 ekor, tergantung stok. Kalau punya stok 10 ekor bisa habis semua dalam 2 sampai 3 bulan. Musim seperti ini, belum tinggi lagi peminatnya.”

Saat ini Wawan memiliki stok anakan musang usia 6 bulan sebanyak 3 ekor. Stok musang usia di bawah 2 bulan ada 7 ekor.

Dia menjual anakan musang melalui grup jual-beli di Facebook atau dari mulut ke mulut sesama hobies. Kebanyakan dijual ke Jakarta, Surabaya, bahkan sampai Bali.

“Paling jauh (kirim) ke Bali. Ke luar pulau selain Bali, belum berani. Lewat darat, perjalanannya terlalu jauh,” kata Wawan.

Paling mahal Wawan pernah menjual seekor musang mozaik hasil penangkaran seharga Rp 17 juta. Menghasilkan musang pandan berbulu mozaik terbilang sulit, karena warn bulunya didapat dari kelainan genetis.  

Musang mozaik dihargai mahal jika kaki belakang dari pergelangan sampai paha berbulu putih. Warna ekor, putih memanjang sampai ke pinggang. Bulu pada muka musang juga putih sampai ke leher.

Musang juara kontes juga otomatis akan mendongkrak harga jualnya. Penilaian kontes dilihat dari postur, warna bulu, kesehatan, serta tanpa cacat tubuh.

Jika taring musang dipotong, otomatis penilaiannya akan berkurang. “Musang obesitas tidak boleh ikut kontes. Kasihan kalau dibawa pergi jauh bisa mati kepanasan.”

Selain untuk tujuan bisnis, penangkaran musang pandan milik Wawan juga menjadi sarana wisata edukasi. Banyak wisatawan datang untuk melihat proses penangkaran musang.

Baca Juga: Tak Memenuhi Syarat, 60 Formasi CPNS Pemprov Jateng Tidak Terisi

Seperti Ardi Putra, wisatawan asal Jakarta yang sedang berlibur di Magelang bersama keluarganya. Dia tertarik melihat penangkaran musang yang selama ini diketahuinya hanya berkembang biak di alam.

“Ada unsur pelestarian alam juga. Jadi nggak diburu secara liar di alam yang mungkin ditangkap bukan untuk dibudidayakan tapi hanya untuk dijual,” kata Ardi.

Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di China ini, juga mengaku tertarik mempelajari hidup musang pandan tanpa harus datang ke alam liar. “Kita dapat edukasi mereka makannya apa, habitatnya, cara budidayanya.”

Penangkaran salah satunya juga untuk mengurangi jumlah penangkapan liar musang di alam. Kebanyakan musang yang didapat dari alam ditangkap saat masih kecil.

Padahal musang rentan mati jika ditangkap oleh orang yang tidak berpengalaman. “Memelihara musang dari kecil bisanya agak susah hidup kalau tidak tahu penangananya,” kata Wawan menutup obrolan kami siang itu.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More