Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 26 November 2020 | 10:30 WIB
Seniman lukis, Easting Medi saat melukis budha di magelang. Dengan seni, ia kreatif hadapi pandemi Covid-19. (Suara.com/Angga Haksoro)

SuaraJawaTengah.id - Kreativitas sering muncul di masa-masa sulit. Sebagian orang menyebutnya seni bertahan hidup. Butuh cara kreatif hadapi pandemi Covid-19

Tapi bagi seniman lukis macam Easting Medi (44 tahun), seni bertahan hidup dimaknai dalam arti harafiah. Menjual karya seni menjadi cara seniman lukis Borobudur ini menyambung hidup.

Pandemi Covid-19 menyebabkan seluruh dunia lockdown. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke objek wisata Candi Borobudur nyaris nol. Padahal dari marekalah sumber pendapatan Medi.

“Hidup saya jungkir balik. Akibat datangnya pagebluk wabah itu. Seluruh dunia mulai lockdown. Nah mulai dari situ orang nggak bisa keluar,” kata Medi saat ditemui di rumahya di Dusun Tingal Wetan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur.

Baca Juga: Ferdinand Tantang Anies Jelaskan Fee Ajang Balap Formula E Rp560 Miliar

Padahal sebelum Covid melanda, lukisannya hampir laku. Medi menawarkan lukisannya ukuran 2 meter seharga US$2.000 atau sekitar Rp30 juta. Uang itu diperkirakannya cukup untuk biaya hidup selama beberapa bulan lockdowndan membeli material melukis.

Sejak dilarang keluar rumah mulai Maret 2020, Medi kebingungan menambal kebutuhan hidup. “Buat makan saja bingung. Saya sudah berkeluarga, anak 1. Beras disuplai dari mertua. Kebetulan mertua saya petani,” kata Medi.

Kemudian Medi ingat masih memiliki banyak stok kertas dan kanvas. Masalahnya, dia kehabisan persediaan cat dan tidak memiliki uang untuk membeli.   

“Saya ingat pernah di tahun 2002 mencoba melukis berbahan cat dari empon-empon (bahan jejamuan). Disekitar rumah banyak tersedia bahan empon-empon. Yang utama itu kunyit, temu giring, temu lawak, temu ireng, bengle, dlingko, kencur, dan jahe.”

Mulailah Medi mengaplikasikan pewarna dari empon-empon di atas kanvas dan kertas. “Nggak mikir nanti laku apa nggak yang penting saya bikin. Karena bahan sudah ada.”

Baca Juga: Tak Yakin Keluarga Bisa Mengerti, Millen Cyrus Pilih Curhat ke Tuhan

Sebelum diaplikasikan sebagai pewarna lukisan, empon-empon dikupas dan diparut. Parutan empon-empon diperas untuk kemudian diambil airnya.

Aplikasi Pewarna Empon-Empon di Atas Kanvas

Selama pandemi Covid-19, Medi menghasilkan 12 karya yang pewarnaannya menggunakan empon-empon. Karyanya diaplikasikan di atas kanvas ukuran beragam dari 40x50 centimeter, 80x10 cm, hingga ukuran besar 150 x 200 cm.

Medi menggunakan pewarna kunyit untuk membuat garis pokok pada lukisan. Untuk warna di sela-selanya biasanya digunakan pewarna dari bahan temulawak dan temugiring.

Cara mewarnai lukisan berpewarna empon-empon dibuat lapis per lapis. Setelah selesai lapis pertama, lukisan dibiarkan kering sambil menunggu jika terjadi perubahan warna.

Jika warna pudar, pewarnaan dilakukan berulang-ulang hingga puluhan kali sehingga mendapat tone warna yang diinginkan. Sebab itu pada satu kesempatan melukis, Medi mengerjakan 2 lukisan sekaligus. 

Butuh waktu sekitar 2 minggu mengulang-ulang pewarnaan sehingga warna yang dihasilkan dianggap kuat. Lukisan masih harus dibiarkan sebelum diberi pelapis kuncian warna.

“Saya menyimpan karya yang dibuat tahun 2014 itu warnanya masih oke. Apalagi yang sekarang ini warnanya lebih pekat. Saya bikinnya lebih detail, pewarnaannya diulang-ulang, warnanya lebih bagus dan lebih kuat,” ujar Medi.

Medi bisa dibilang sebagai seniman serba bisa. Lahir dan besar di Dusun Tingal Wetan, interaksi Medi dengan kegiatan seni di sekitaran Candi Borobudur dimulai sejak usianya masih kecil.  

Saat duduk di kelas III SD Wanurejo 1, Medi menjuarai lomba melukis tingkat Kecamatan Borobudur. Sejak saat itu, dia rutin mewakili sekolah mengikuti berbagai ajang lomba.

Kegiatanny melukis sempat terhenti saat Medi masuk sekolah menengah pertama (SMP). “Saya masuk SMP Negeri 1 Borobudur. Disana gurunya galak-galak. Jadi saya fokus di pelajaran, nggak sempat melukis,” katanya.

Selepas SMP, Medi melanjutkan sekolah ke SMA Pendowo, Magelang. Dia memilih SMA Pendowo karena ada salah satu guru lukis yang dia kenal mengajar disana.

Pada tahun-tahun ini dia mulai sering membantu komunitas Pelukis Muda Borobudur menggelar pameran. “Nah SMA itu saya sering ikut lomba lukis sana-sini. Kadang bolos sekolah untuk ikut lomba.”

Kesempatan ikut pameran datang sekitar tahun 1995. Yayasan Cempaka Kencana mengadakan open air gallery di Taman Wisata Borobudur.

Spesialis Pelukis Kepala Budha

Kebanyakan lukisan yang dibuat Medi bertema relief candi. Dulu, pengelola Borobudur mengizinkan seniman naik ke atas candi untuk melukis langsung on the spot.

Kedekatan Medi dengan tema relief candi tak lepas dari memori masa kecilnya yang saban Lebaran berkunjung ke Borobudur. Warga kampung sekitar punya kebiasaan naik ke Candi Borobudur seusai shalat Ied.

Masyarakat menjadikan Candi Borobudur sebagai pusat bertemunya budaya yang menerabas sekat-sekat keagamaan. Mereka memilih Borobudur sebagai tempat perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Dari remaja Medi juga terbiasa mengaplikasikan lukisan pada berbagai media. Sempat membuat lukisan untuk kartu ucapan, Medi sempat melukis di atas kaca dan piring.

“Saya bisa dapat cari tambahan uang. Bahkan untuk uang sekolah dari jual kartu Lebaran. Kartu Lebaran (dijual) sekitar Rp250 per lembar. Selama Lebaran bisa jual sekitar 150 lembar. Harga celana jeans Lea masih Rp 15 ribu. Itu bangga bisa beli celana dari jual kartu Lebaran.”

Dikenal sering mengambil tema Candi Borobudur sebagai objek lukisan, Medi kemudian didorong secara spesifik menjadi pelukis objek kepala Budha. “Di galeri didukung melukis spesialis kepala Budha. Sampai sekarang saya dikenal ‘Easting Medi pelukis spesialis kepala Budha’.”

Sejak tahun 2012 Medi mulai bisa hidup dari menjual lukisan. Tahun 2019 pasar lukisan Borobudur mulai lesu karena Corona. Di Borobudur berkembang seni wisata, dimana pasar lukisan kebanyakan adalah para wisatawan.

Berkurangnya jumlah wisatawan otomatis mempengaruhi penjualan karya seni. “Ada yang pembeli orang umum karena senang saja. Tapi ada juga yang memang kolektor. Bahkan lukisan saya ada yang dipajang di sebuah galeri di Inggris.”

Easting Medi saat ini sedang menyelesaikan lukisan potret salah seorang klien dari Jakarta. Klien ini mengaku tertarik dibuatkan lukisan berbahan pewarna dari empon-empon.

Menurut Medi, ini klien pertamanya yang secara khusus minta dibuatkan lukisan empon-empon.

“Saya bilang satu bulan nanti saya kabari. Saya berani melepas setelah satu bulan. Soalnya rentang 1 bulan nanti kalau ada lunturnya sedikit, saya timpa terus. Biasanya setelah 1 bulan, warnanya sudah nggak geser-geser lagi.”     

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More