SuaraJawaTengah.id - Kota Semarang memang memiliki banyak bangunan-bangunan tua yang memiliki sejarah dan cerita-cerita unik. Pernah menjadi pusat perdagangan para penjajah Belanda maka tak heran jika terdapat ratusan bangunan cagar budaya di Kota Lumpia.
Kota lama misalnya, kawasan Kota Semarang tersebut nyaris bangunan yang ada adalah gedung-gedung peninggalan Belanda. Bangunan-bangunan tua di kawasan Kota Lama itu tentu memiliki sejarahnya dan fungsinya masing-masing.
Salah satunya adalah bangunan tua Schouwburg, atau yang saat ini lebih familiar di kalangan masyarakat dengan sebutan Gedung Marabunta.
Dilansir dari Ayosemarang.com, Schouwburg atau Gedung Marabunta dulunya merupakan gedung pertunjukan teater opera di masa kolonial Belanda di Semarang sekitar tahun 1800-an.
Gedung Schouwburg terletak di jalan Cendrawasih, kawasan Kota Lama. Saat ini, terlihat kondisinya hanya tersisa beberapa bagian bangunan saja.
Di depan bangunan pun telah terpagar oleh pagar bercat biru. Sehingga sedikit saja bagian yang mampu dilihat, yakni bagian atasnya saja.
Sementara, gedung yang ada di sebelahnya merupakan bangunan baru yang berdiri di atas bekas panggung utama Schouwburg.
Ahli cagar budaya Semarang, Tjahjono Raharjo menceritakan, Schouwburg merupakan satu-satunya gedung pertunjukan di kawasan Kota Lama saat itu. Dan termasuk bangunan mewah kala itu.
Ia menggambarkan, Schouwburg memiliki prinsip yang tidak jauh berbeda dengan pertunjukan teater opera. Yang mana panggung utama berada di satu sisi, sedangkan penonton berada di sisi lainnya.
Baca Juga: Sambut Hari Raya Nyepi, Penerbangan Semarang-Bali Berhenti Beroperasi
"Meski tidak semegah gedung Opera di Eropa, nyatanya Schouwburg cukup memberikan hiburan opera bagi warga Belanda yang ada di Semarang. Dan tentu pertunjukan Operanya juga berbeda jika dibandingkan di Eropa sana," ujarnya, Selasa (16/3/2021).
Tjahjono menerangkan, bangunan yang tersisa dari Schouwburg hanyalah bagian depan yang dahulu digunakan sebagai pemberhentian pengunjung pertunjukan di Schouwburg yang menggunakan kereta kuda.
"Tinggal bagian depannya saja. Karena pada masa penjajahan Jepang, gedung Schouwburg jadi kumuh dan rusak di beberapa bagian karena tidak digunakan dan kurang perawatan," imbuhnya.
Menurutnya, Schouwburg hanya didatangi oleh kalangan menengah ke atas saat itu. Sedangkan kalangan menengah ke bawah dan pribumi, tentunya tidak akan diperbolehkan memasukinya.
"Lalu siapa arsitek yang membuat Schouwburg, saya kurang tahu. Karena pada awal abad 19 itu memang belum ada arsitek di Semarang. Arsitek dari Belanda itu mulai datang sekitar 1900-an," ucapnya.
Karena tidak diperbolehkannya pribumi masuk ke dalam Schouwburg. Sebagai bentuk reaksi masyarakat Jawa saat itu, akhirnya tercetuslah gedung pertunjukan versi masyarakat pribumi saat itu.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
Terkini
-
Polisi Ungkap Pembunuhan Advokat di Cilacap, Motif Pelaku Bikin Geleng-geleng
-
UPZ Baznas Semen Gresik Salurkan Bantuan Kemanusiaan bagi Warga Terdampak Bencana Banjir di Sumbar
-
3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
-
7 Destinasi Wisata Kota Tegal yang Cocok untuk Liburan Akhir Tahun 2025
-
Gaji PNS Naik Januari 2026? Kabar Gembira untuk Abdi Negara