Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Minggu, 29 Agustus 2021 | 13:51 WIB
Foto udara perumahan warga terendam banjir di Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (26/2/2021). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

“Masalah rob ini sudah hampir dua tahun terakhir menggenang perkampungan nelayan. Dimana nelayan jadi kesulitan membawa hasil tangkapan dan mengolah hasil tangkapan. Karena yang mengolah itu ibu-ibu, kalau rumah tergenang jadi susah,” jelas Ari ketika, Minggu (22/8/2021).

Dalam tiga tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan terjadinya banjir rob akibat gelombang pasang di Jawa Tengah. Pada tahun 2018, bencana tersebut sempat nihil terjadi. Namun, di tahun berikutnya, dilaporkan tiga kejadian bencana akibat gelombang pasang.

Selain merusak rumah warga, rob juga merusak kapal nelayan. Bencana itu pun juga menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nelayan sekaligus kesehatan mereka.

“Semisal tergenang [akibat banjir rob], kaki jadi gatal-gatal. Masyarakat juga jadi rawan terpeleset dan jatuh, ada risiko seperti itu. Ketika musim ombak, rumah warga bisa rusak,” jelas Ari.

Baca Juga: Karimunjawa dan Merapi-Merbabu Antarkan Gubernur Ganjar Dapat Penghargaan Pariwisata

Penurunan muka tanah ini salah satunya dipengaruhi factor ekstraksi atau pengambilan air bawah tanah yang berlebihan. Di beberapa daerah seperti di Kota Pekalongan, langkah tersebut terpaksa dilakukan karena minimnya akses air bersih.

“Kota pekalongan ini memang tidak memiliki sumber air permukaan, semuanya mengambil dari air tanah. PDAM, sektor industri, kegiatan perhotelan, dan sebagainya yang mengambil air tanah secara massif,” jelas Anita Heru Kusumorini, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan, seperti dikutip dari Jatengprov.go.id.

Guna menanggulangi dampak uruk penurunan muka tanah, Pemerintah Kota Pekalongan mengeluarkan moratorium atau penangguhan rekomendasi pengambilan air bawah tanah. Hal ini dilakukan terutama di wilayah Pekalongan utara. Meskipun langkah tersebut bukanlah solusi yang tepat.

“Moratorium itu tidak menghentikan penurunan muka tanah. Boleh dilakukan, tapi harus memberikan alternatif lain. Misalnya apakah kemudian pengambilan air permukaan, ada teknologi recharging air, atau air daur ulang. Jadi mereka punya pilihan,” jelas Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Mila Karmilah, Minggu (22/8/2021).

Mila mengungkapkan bahwa pembatasan dan pelarangan penggunaan air bawah tanah mestinya tak menyasar masyarakat umum saja. Namun, kebijakan tersebut lebih ditujukan kepada pelaku industri dan perhotelan.

Baca Juga: Pemprov Jateng Izinkan Sekolah Gelar Tatap Muka Terbatas 30 Agustus, Ini Syaratnya

“Kalau hanya masyarakat, tidak terlalu besar [dampaknya]. Yang menyebabkan penurunan muka tanah yang signifikan itu adalah industri dan hotel. Itu yang harus dipikirkan. Pembatasan harus dilakukan, di awal. Tetapi harus diikuti pelarangan dan solusi,” jelasnya.

Load More