Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 23 September 2021 | 18:36 WIB
Arif Budi Setyawan (kiri) mantan napi teroris (napiter) saat berada di Kota Semarang. [Suara.com/Budi Arista Romadhoni]

SuaraJawaTengah.id - Kasus terorisme menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Tak mudah memang, untuk benar-benar menghilangkan ideologi radikalisme di kalangan masyarakat. 

Cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seakan bisa pudar saat mengetahui umat muslim ditindas. Tidak itu saja, iming-iming  ekonomi dan jaminan surga menjadi sangat menggiurkan bagi para teroris di Indonesia. 

Pendekatan untuk mencintai NKRI pun terus digalakan untuk para napi teroris (Napiter). Melalui buku "Menanti Yang Kembali" menjadi kumpulan kisah dari sebuah upaya reintegrasi Narapidana Teroris.

Diterbitkan PT Kreasi Prasasti Perdamaian 2021, buku ini ditulis Arif Budi Setyawan, Husnul Khatimah dan Eka Setiawan. 

Baca Juga: BNPT Dalami Peringatan dari Jepang soal Ancaman Teror di Asia Tenggara

Arif Budi Setyawan yang merupakan eks napiter JI dan MIT, mengatakan menyadarkan para teroris untuk kembali NKRI hal yang tak mudah. Terdapat banyak faktor yang yang mempengaruhi. 

"Banyak sebab mereka tidak kembali NKRI. Karena mereka akan diurusi di penjara. Saat keluar juga tidak akan memberikan data akan tinggal ke mana. Karena KTP semua palsu. Setelah keluar ya kembali ke kelompok mereka," katanya saat ditemui di Semarang (23/9/2021). 

Menurutnya pengaruh tentang ideologi radikal akan terbentuk secara sosial dan sistematis. Keluarga sang teroris yang ditangkap pun berpotensi akan menjadi terpengaruh radikal. 

"Akan terbentuk sistematis, anak sekolahnya khusus, istri saat melihat suaminya ditangkap maka mereka akan jadi radikal. Untuk mempengaruhi sangat gampang, melalui medsos pun bisa. Ayah dan suami kalian adalah pahlawan," ucapnya. 

Menurut Arif permasalahan yang tajadi adalah soal sosial. Setelah ditangkap, pelaku teroris itu tidak bisa selesai disitu. 

Baca Juga: Kotak Amal jadi Sumber Dana, BNPT: Salah Bederma Sama dengan Mendukung Aksi Terorisme

"Anak istrinya bagaimana? Dia pasti sudah dicap keluarga teroris. anak berhenti sekolah karena bullying, mereka perlu pendampingan. Peran pemerintah sangat minim dengan hal itu. Maka kami punya program pendampingan RT RW."

"Saya gerilya mencari keluarga2 napi teroris yang ditangkap ini. Dan harus diketahui, kami tidak menggunakan dana desa atau pemerintah. Saya cukup dihargai, dan saya mengalami itu semua, bagaimana meninggalkan keluarga dan dipenjara dengan status teroris," imbuhnya. 

Arif menyebut, buku yang ditulisnya mengisahkan pengalaman saat ditangkap hingga keluar dari penjara. 

"Rata-rata memang para napiter ini terpengaruh karena melihat umat islam tertindas. Tantangan dari media sosial penyebaran ideologi sangat mudah. Kalau masyarakat itu pinter, maka ideologi tidak akan laku," ujarnya. 

Arif Budi Setyawan (kiri) mantan napi teroris (napiter) saat berada di Kota Semarang. [Suara.com/Budi Arista Romadhoni]

Densus 88/AT Mendukung

Sementara itu Kanid Idensos Densus 88/AT Satgaswil Jateng, AKBP Bambang Prastiyanto menyatakan mendukung upaya para napiter memberikan sosialisasi mengajak kembali NKRI. 

Ia pun menyebut, terus melakukan pendekatan dengan para napiter. Bahkan, ia juga menjemput langsung para napiter yang sudah bebas.

"Memang sangat bisa terjadi para napiter kembali ke komunitasnya. Banyak rekan-rekan yang sudah keluar juga punya ideologi yang keras. Mengubah ideologi para napiter ini memang butuh strategi. seperti dari eks napiter, mereka akan lebih percaya. Namun jika orang umum maka mereka tidak percaya," ujarnya. 

Sementara itu Machmudi Hariono eks napiter kasus Bom Sri Rejeki Semarang, dan juga Ketua Yayasan Persadani dan fasilitator reintegrasi di Jateng menyebut memberikan pemahaman NKRI kepada napiter tidak mudah. 

"Semoga dengan buku ini kami bisa memberikan sosialisasi eks napiter. saat bebas akan merintis usaha, merancang hidup sejak dari penjara.

Tidak hanya napiter laki-laki, kami juga mendampingi para napiter wanita yang dihukum karena kasus terorisme," ujarnya. 

Kasus Terorisme

Hingga pertengahan tahun ini, ada 53 teroris ditangkap di Indonesia, di antara mereka ada yang berstatus residivis.

Sementara, dari tahun 2002 sampai 2020 dari sekira 825 napiter terdapat 94 napiter yang kembali melakukan serangan (Institute for Policy Analysis of Conflict).

Data Idensos Densus 88/AT Satgaswil Jawa Tengah di Jawa Tengah sendiri, hingga 3 September 2021 ada 188 napiter telah bebas dan 189 orang masih dalam tahanan (162 di Nusakambangan dan 27 di luar Nusakambangan, tersebar di 17 Lapas).

Load More