Budi Arista Romadhoni
Kamis, 30 September 2021 | 07:00 WIB
Ilustrasi Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani disumpah Syekh Mahfudz. [Suara.com/Ema]

Meski akhirnya berhasil menerobos pertahanan Batalyon Lemah Lanang, Belanda kehilangan banyak personel di medan pertempuran sepanjang Bandung Sruni, Kewajan, hingga Wonosari.      

Bumi Hangus Somalangu

Rumah peninggalan Syekh As Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al Hasani di Kompleks Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Sejak awal pembentukannya, Batalyon Lemah Lanang kerap bergesekan dengan tentara reguler Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Batalyon Lemah Lanang “setengah hati” menerima peleburan laskar dalam pasukan reguler APRIS.

Selain berasal dari kultur masyarakat yang berbeda (mayoritas laskar adalah santri dan petani), penggabungan pasukan sesuai kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (Re-Ra) angkatan perang, berpotensi memangkas jumlah laskar secara besar-besaran.

Anggota laskar yang tidak pernah mengenyam pendidikan militer baik PETA maupun KNIL, terancam dibuang keluar struktur ketentaraan RIS.

Insiden pemicu konflik terjadi pada akhir Juli 1950. Salah seorang anggota AOI asal Somalangu (dalam sejumlah tulisan disebut bernama Khurmen), tewas dipukuli tentara APRIS yang sedang berpatroli.

Khurmen yang kedapatan membawa senjata api ditangkap polisi militer APRIS di dekat Stasiun Kebumen. Saat itu tentara sedang gencar menertibkan laskar bersenjata.

Insiden tersebut memicu aksi balasan pada 31 Juli 1950. Pemuda AOI balik memukuli salah seorang tentara APRIS hingga tewas.

Sore harinya, Kolonel Sarbini memerintahkan Syekh Mahfudz menghadap ke Markas APRIS di Magelang. Syekh Mahfudz tidak dapat memenuhi panggilan dan berjanji akan melapor keesokan harinya.

Baca Juga: Cerita PKI Menangi Pemilu 1955 Hingga Kuasai DPRD Yogyakarta Selama Satu Dasawarsa

Betapa terkejutnya Syekh Mahfudz mengetahui pada pagi hari, tanggal 1 Agustus, Somalangu sudah dikepung tentara APRIS di bawah pimpinan Letkol Ahmad Yani.

Letkol Ahmad Yani yang memimpin pasukan bersandi “Kuda Putih” menyerbu Somalangu dan memerintahkan Syekh Mahfudz menyerah.  

“Saat penyerangan, di sini bumi hangus. Semua habis. Para laskar itu tunggang langgang. Mereka tidak mau tinggal disini karena takut ditangkap, diciduk, diteror dan lain sebagainya,” kata Hidayat Aji Pambudi.

Dalam buku Kuntowijoyo “Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi” pertempuran Laskar AOI dan tentara APRIS berlangsung 40 hari.

Sekitar 85 rumah di Somalangu rusak atau dibakar. Beruntung masjid di kompleks Pondok Pesantren Somalangu terhindar dari kerusakan. Jumlah korban diperkirakan mencapai 1.500 hingga 2 ribu jiwa.

Sumpah Syekh Mahfudz

Load More