Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 10 November 2021 | 07:25 WIB
Sugiyon mengunjungi makam bapaknya Mitsuyuki Tanaka di Taman Makam Pahlawan Giri Dharmoloyo, Magelang. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi].

SuaraJawaTengah.id - Tahun 1939. Mitsuyuki Tanaka yang berstatus tentara pelajar Jepang, menjalani tugas pertamanya di Manchuria.

Saat itu Manchuria (Manchukuo) adalah negara boneka Jepang yang berhasil direbut dari China pada tahun 1931. Di Manchuria, Tanaka diperkirakan bergabung dengan Divisi Infanteri ke-23 di bawah komando Jenderal Michitaro Komatsubara.

Tanaka yang saat itu berusia 18 tahun, bertugas menjaga perbatasan Manchuria dari Mongol yang beraliansi ke Uni Sovyet. Jepang melirik Mongol sebagai wilayah jajahan baru.

Ambisi Jepang menduduki Mongol, terganjal Uni Sovyet yang saat itu dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh. Sedangkan Divisi Infanteri ke-23 baru terbentuk yang pasukannya terdiri dari para prajurit muda yang minim pengalaman bertempur.

Baca Juga: Profil Roehana Koeddoes, Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia Jadi Google Doodle

Dalam perang singkat selama 3 bulan, Jepang dikalahkan Korps Khusus ke-57 Uni Sovyet dan tentara berkuda Mongol. Kavaleri Mongol yang gesit berhasil menggempur pasukan penjaga perbatasan Jepang.

Pada 15 September 1939, Jepang mengaku kalah dan mengusulkan gencatan senjata. Jepang melaporkan 8.440 tentaranya tewas dan 8.766 lainnya luka-luka.

Meski kalah di Manchuria, Jepang melanjutkan perang di Asia Tenggara dan sebagian Pacifik. Mitsuyuki Tanaka berpindah-pindah medan tempur di Taiwan, Filipina, Singapura, Muangthai, dan masuk ke Indonesia malalui Tarakan, Kalimantan utara.

Berdasarkan catatan Sugiyon (60 tahun) putra kelima Tanaka, ayahnya antara tahun 1940-1945 ikut berperang di Tarakan, Surabaya, Flores, Irian Jaya, dan Jakarta.

Pilih Perang untuk Indonesia

Baca Juga: Mitos Watu Sekenteng Magelang, Desa Tenggelam Jika Yoni Dipindah

Setelah Jepang kalah dari Sekutu dan Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, tentara Jepang diperintahkan menyerah dan akan dipulangkan ke negaranya.

Tanakan menolak perintah Sekutu. Dia sadar jika menyerah ada kemungkinan akan dihukum mati dan tidak akan pernah pulang ke Jepang.

“Pertimbangannya kalau kembali ke Jepang juga diadili perang (oleh Sekutu). Disini mikirnya Jepang sudah pernah janji untuk kemerdekaan tapi Indonesia belum merdeka,” kata Sugiyon kepada SuaraJawaTengah.id saat ditemui di rumahnya di Jalan Sablongan 1668, Kota Magelang, Selasa (9/11/2021).

Mitsuyuki Tanaka merasa kemampuannya berperang lebih berguna untuk membantu perjuangan tentara Indonesia. Tanakan mulai menjalin kontak rahasia dengan Komandan Resimen Kedu I Divisi II TKR, Letkol Sarbini dan Komandan Batalyon I TKR, Mayor Suryo Sumpeno.

Tanaka menawarkan membantu suplai senjata yang dicuri dari gudang senjata milik Jepang di Kaderschool Magelang (sekarang Rindam IV/ Diponegoro).

Kebetulan Tanaka memegang kunci gudang senjata tersebut. Sebagai personel Batalyon Kido Butai, Tanakan ditempatkan di Kaderschool sebagai pasukan titipan yang sedang diistirahatkan.

Wilayah Magelang sendiri dikuasai Batalyon Nakamura Butai. Saat itu posisi Jepang sudah menyerah, namun tentara Sekutu belum masuk ke Magelang.

“Bapak bukan tahanan di Kaderschool. Tapi dipasrahi memegang kunci gudang senjata. Beliau berstatus tentara yang diistirahatkan karena baru pulang bertempur di Tarakan, Surabaya, Flores, Irian Jaya, dan Jakarta.”

Penyelundupan senjata untuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berjalan mulus. Tanaka mengirim senjata jenis juki (4 pucuk), 8 watermantel, 12 willys, 120 senapan, 40 geki, 60 bren gun, 80 tekidanto, serta beberapa truk berisi penuh amunisi.

Tidak hanya membantu suplai senjata, Mitsuyuki Tanaka yang pada tahun 28 Juli 1948 menikahi gadis Salaman dan berganti nama menjadi Soetoro, juga terlibat berbagai clash dengan tentara Belanda dan Sekutu.

Soetoro (Mitsuyuki Tanaka) bergabung menjadi anggota BKR Magelang berpangkat Sersan. Dia terlibat kontak senjata pada peristiwa “Palagan Magelang”. Pertempuran di Magelang ini diyakini sebagai babak pembuka Palagan Ambarawa.

Di Ambarawa, Mitsuyuki Tanaka (Soetoro) tertembak di dada tembus ke punggung. “Bapak tertembak di sekitar daerah Jambu. Sempat dirawat sebentar di Magelang, kemudian langsung ikut perang lagi,” kata Sugiyon.    

Jasa Mantan Prajurit Jepang

Sugiyon terpaku pada dinding bertuliskan nama-nama orang yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Darmo Giriloyo. Tujuannya mencari nama Soedjono, rekan seperjuangan bapaknya dulu.

Sewaktu kecil, Sugiyon pernah diajak bapaknya nyekar ke makam Soedjono, tapi dia lupa letak persisnya. “Nah ini. Blok A 36. Seingat saya petak makamnya agak di atas.”

Seingat Sugiyon, bapaknya punya 5 teman sesama tentara Jepang yang ikut perang membantu kemerdekaan di Magelang. Selain Soedjono, di TMP Darmo Giriloyo dimakamkan J Watanabe.

Sedangkan di Taman Makam Pahlawan Giridharmoloyo, dimakamkan Noboru Sato alias Muhamad. Kemudian ada Sutono dan Yoneda.

“Yoneda itu jadi satu terus (dengan Mitsuyuki Tanaka) dari Manchuria sampai Magelang. Dia guru judo. Dimakamkan di Cilacap. Tapi bukan di taman makam pahlawan,” ujar Sugiyon.  

Tidak semua mantan tentara Jepang yang ikut perang kemerdekaan dikubur di taman makam pahlawan. Padahal mereka semua pemegang Tanda Kehormatan Bintang Gerilya.

Pemerintah Jepang mengklaim, pasca Perang Dunia II terdapat 150 orang bekas tentaranya yang menetap di Jawa dan membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.  

Pemerintah Jepang tidak memperlakukan mereka sebagai tentara desersi, tapi sebagai prajurit yang diperbantukan untuk kemerdekaan Indonesia.

Atas jasanya, para bekas prajurit Jepang ini mendapat tanda kehormatan dari pemerintah Jepang. “Terima kasih kepada Tanaka yang sudah mempersatukan antara Jepang-Indonesia,” kata Sugiyon membacakan isi piagam yang aslinya bertulis Kanji itu.

Setelah revolusi fisik tahun 1945, hanya Mitsuyuki Tanaka yang melanjutkan karir di bidang kemiliteran. Mitsuyuki Tanaka kemudian bergabung dengan Batalyon Infanteri 400/ Banteng Raider dan sempat ikut bertugas menumpas gerakan DI/TII dan PRRI Permesta.

“Sarwo Edhie (Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo) dekat sama bapak. Senengnya nonton film koboi. Nanti menghubungi bapak, kalau nggak bapak kesana (Akmil). ‘Pak Toro mengko filmnya apik’ (Pak Toro nanti filmnya bagus). Kalau nggak bapak nunggu di bioskop Krisna. Terus bareng nonton koboi.”

Mitsuyuki Tanaka wafat 1 Agustus 1998 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giridharmoloyo.  

Tanaka dianugerahi pangkat terakhir Letnan Kolonel, jenjang kepangkatan tertinggi di TNI yang pernah diberikan kepada mantan tentara asing yang turut membantu perang kemerdekaan Indonesia.   

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More