Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 31 Desember 2021 | 11:57 WIB
ilustrasi kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual marak terjadi di Indonesia, mayoritas pelaku merupakan keluarga, orang dekat korban ataupun orang yang dikenal korban. [ema rohimah / suarajogja.id]

SuaraJawaTengah.id - Kasus kekerasan seksual marak terjadi di Indonesia. Bahkan di tahun 2021 ini pemberitaan pengungkapan kasus yang masih dianggap remeh itu terus terjadi. 

Yang lebih membuat prihatin, mayoritas pelaku kasus kekerasan seksual merupakan keluarga, orang dekat korban ataupun orang yang dikenal korban. Di Jawa Tengah pun demikian, kasus-kasus kekerasan masih dianggap kejahatan yang ringan. 

Salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mencuri perhatian publik diantaranya kasus asusila terhadap 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat. Terdakwa HW diduga telah melakukan tindakan asusila terhadap 12 santriwati tersebut dengan pemaksaan hingga menyebabkan kehamilan.

Aksinya tersebut dilakukan di sejumlah tempat yakni di dua pondok pesantrennya dan di sejumlah penginapan seperti hotel dan apartemen.

Baca Juga: KPAI: Ada 18 Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak yang Terjadi Selama Tahun 2021

Komnas Perempuan mencatat ada peningkatan yang signifikan pada angka pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan selama satu tahun terakhir.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan jumlah kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan dalam kurun waktu Januari - Juni 2021 sebanyak 1.967 kasus/ orang korban atau naik 57 persen dari jumlah pelaporan pada periode yang sama di tahun lalu.

Namun demikian, naiknya jumlah pelaporan tidak diikuti dengan kemampuan penanganan lembaga-lembaga pengada layanan terhadap perempuan korban kekerasan.

Salah satunya adalah kasus NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto, Jawa Timur. NWR diketahui pernah mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan pada pertengahan Agustus 2021. Namun belum sempat ditangani oleh P2TP2A Mojokerto karena keterbatasan psikolog dan jumlah kasus yang banyak.

NWR kemudian memutuskan mengakhiri hidupnya pada 2 Desember 2021.

Baca Juga: Seperti Dendam, Kekerasan Seksual di Ranah Pendidikan Harus Dibayar Tuntas!

Andy menyebut kasus NWR merupakan sinyal darurat adanya keterbatasan layanan terhadap perempuan korban kekerasan yang harus dibenahi.

"Kasus NWR yang mengemuka ini sekaligus alarm penting yang tidak boleh kita abaikan bagaimana keterbatasan layanan saat ini sudah memasuki masa genting sehingga tidak dapat lagi menjangkau korban secepat dan dan setanggap yang dibutuhkan untuk dapat menopang pemulihan," kata Andy.

Tingkatkan Pengawasan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan penanganan secara komprehensif terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Pengawasan dan evaluasi menjadi penting. Sejauh mana pengawasan dari lembaga terkait. Jangan sampai kita seperti pemadam kebakaran. Kasus-kasus seperti ini hulunya yang harus kita selesaikan sehingga pencegahan menjadi satu hal yang penting," kata Bintang.

Dia pun meminta kepala daerah untuk tidak menutup mata terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karena itu, pihaknya pun mengapresiasi pemerintah daerah yang sudah mengawal kasus tersebut.

"Ketika terdapat kasus-kasus kekerasan seperti ini, pimpinan daerah tidak boleh menutup mata, jangan hanya mengandalkan penanganan dari pusat," kata Bintang.

Layanan SAPA 129

Sejak 8 Maret 2021, Kemen PPPA telah meluncurkan layanan Ruang Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129 untuk memberikan akses terhadap perempuan yang mengalami tindak kekerasan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus.

SAPA 129 ini dapat diakses melalui nomor telepon 129 atau pesan singkat ke nomor 08111-129-129.

Kehadiran SAPA 129 ini untuk memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan serta membentuk pelayanan terpadu penanganan kekerasan.

"Dengan membentuk one stop services agar penanganan kekerasan dapat dilakukan secara cepat, terintegrasi dan komprehensif serta melakukan proses penegakan hukum dan memberikan layanan rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati.

SAPA 129 juga diharapkan dapat menjadi layanan yang membantu upaya penanganan terhadap perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi antarwilayah dan internasional.

"Sekarang kami diberikan fungsi tambahan untuk melakukan implementasi, utamanya adalah menyediakan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi nasional antarprovinsi dan internasional," katanya.

RUU TPKS tertunda

Untuk menindak pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak, dibutuhkan payung hukum yang memadai.

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) merupakan RUU yang dinanti semua pihak untuk dapat mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Namun demikian, RUU TPKS tidak masuk dalam putusan rapat paripurna DPR pada Kamis (16/12) sehingga membuat banyak pihak kecewa.

"Kalau kecewa, tentu kita kecewa, karena ini (RUU TPKS) lagi dinanti oleh publik dan menjadi kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak," kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya.

Namun demikian, Willy tidak mau larut dalam kekecewaan. Dia menegaskan tidak akan berhenti berjuang hingga RUU TPKS disahkan di paripurna dan menjadi Undang-undang.

"Saya tetap optimistis (pengesahan RUU TPKS) ini hanya masalah waktu saja. Saya akan mencoba berkomunikasi dengan pimpinan DPR agar RUU ini bisa diparipurnakan di masa sidang tahun depan," ujar Anggota Komisi XI DPR ini.

Sementara Komnas Perempuan menyerukan kepada DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU TPKS mengingat Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual.

"Melanjutkan semangat gerakan perempuan pada 22 Desember 1928, di Hari Ibu, Komnas Perempuan merekomendasikan dan menyerukan kepada DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU TPKS yang sudah didesakkan oleh gerakan masyarakat sipil selama sembilan tahun terakhir," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Pihaknya pun meminta masyarakat sipil dari semua elemen, baik organisasi massa keagamaan, organisasi mahasiswa, LSM, akademisi, mahasiswa, pelajar, organisasi profesi, lembaga pendamping, lembaga layanan untuk terus memantau proses pembahasan di DPR dan terus mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU TPKS demi menciptakan rasa keadilan bagi perempuan korban.

Andy juga meminta lembaga pendidikan untuk segera merespon cepat dan tepat atas lahirnya kebijakan-kebijakan progresif yang telah diterbitkan oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan mengembangkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan lingkungan pendidikan lainnya.

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin hari dirasa semakin banyak. Semua terungkap berkat kemajuan teknologi komunikasi terutama media sosial.

Terungkapnya kasus-kasus ini patut disyukuri karena para korban sudah semakin berani untuk mengungkap tindakan para pelaku. Namun di sisi lain hal tersebut menimbulkan rasa keprihatinan bahwa tindak kejahatan ini masih terus terjadi.

Sudah sepatutnya payung hukum RUU TPKS segera disahkan sehingga para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dihukum dengan setimpal serta kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Load More