Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Sabtu, 12 Februari 2022 | 17:13 WIB
Beredar unggahan video yang menayangkan warga di Desa Wadas, Purworejo yang di kepung ratusan polisi saat sedang bermujahadah di masjid menuai kritikan publik. [Instagram @wadas_melawan]

SuaraJawaTengah.id - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo didesak untuk segera memecat Kapolda Jateng Irjen Ahmad Luthfi serta Kapolres Purworejo AKBP Fahrurozi karena dianggap melanggar UUD 1945, hak asasi manusia (HAM) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penanganan konflik di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.

Pernyataan tersebut disampaikan Indonesia Police Watch (IPW) pada Sabtu (12/2/2022). IPW menyatakan, keduanya harus dipecat sebelum digelar pemeriksaan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.

"Kami meminta Kapolri mencopot Kapolda Jateng dan Kapolres Purworejo terlebih dulu, kemudian diperiksa oleh Propam Polri terhadap pelanggaran UUD 1945, HAM dan KUHAP serta Perkap," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso seperti dikutip Wartaekonomi.co.id-jaringan Suara.com pada Sabtu (12/2/2022).

Sugeng mengemukakan, menurut hasil investigasi IPW di lapangan, ada dalih pengamanan dan upaya paksa dari Polda Jateng untuk menangkap warga yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Baca Juga: Situasi Desa Wadas Berangsur Normal, Polisi Masih Berpatroli, Kesaksian Warga: Pintu-pintu Digedor, Minta Air Panas

Sebab dalam Pasal 28B ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sementara Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan secara tegas penangkapan seseorang tidak boleh sembarangan.

Kemudian juga tercantum pada pasal 34 yang berbunyi, 'Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.'

Sugeng mengatakan pelanggaran pada pasal tersebut terbukti dilakukan Polda Jateng yang telah menangkap 60-an warga Desa Wadas tidak bersalah. Meski sehari kemudian dibebaskan, peristiwa pelanggaran ini menyebabkan kegaduhan di masyarakat.

Sugeng juga menyebut Polda Jateng melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 20, yang menyebut 'Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa.'

Dalam menangkap, anggota kepolisian harus memiliki surat tugas dan surat perintah penangkapan. Perlakuan Polda Jateng dalam melakukan penangkapan warga Wadas, sebut Sugeng, juga melanggar Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

Baca Juga: Kasus Desa Wadas, IPW: Polisi Harusnya Lindungi Rakyat, Humanis, Seperti yang Digaungkan Kapolri

Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap anggota Polri wajib menjaga keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kemudian juga bertentangan dengan pasal 7 ayat 1 huruf c yang mengatakan bahwa setiap anggota Polri wajib menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural.

"Sementara pada pasal 10 huruf a dan b dijelaskan bahwa setiap anggota Polri wajib menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia dan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum," katanya.

Sebelumnya, polisi mengakui menangkap 64 Warga Wadas saat proses pengukuran calon lahan tambang granit di Desa Wadas. Termasuk Staf Divisi Kampanye dan Jaringan LBH Yogyakarta, Dhanil Al Ghifary.

Menurut salah seorang pendamping warga yang ikut ditangkap Yayak Yatmaka, dirinya sudah diintai sejak menginjakan kaki di Desa Wadas bersama rombongan dari LBH Yogyakarta yang melakukan advokasi.

"Begitu masuk sudah ada 10 orang, kebetulan saya tahu ada petugas Polres Purworejo, lalu dia meminta saya menunggu. Nanti ada yang menjemput dan saya dikawal oleh Provos bersama lima orang. Di situ saya dijamin tidak akan dipukul atau disiksa, saya masih tenang saja waktu itu," ujar dia seperti dikutip SuaraJogja.id. 

Yayak bersama sembilan orang lain akhirnya dibawa ke Polsek Bener. Di sana sudah banyak warga lain, Yayak begitu ingat total orang yang ada di dalam Polsek, namun sepengetahuannya ada beberapa warga yang mendapat tindakan represif dari aparat. 

Berada di Polsek Bener, para warga dipanggil satu persatu untuk diinterogasi. Yayak tahu jika interogasi polisi tidak boleh asal dilakukan tanpa ada pendamping atau kuasa hukum. 

"Saya tidak mau, kalau itu interogasi, saya minta ada pendampingan. Akhirnya saya ditawari interview saja, dimana saya bisa menolak menjawab jika ada pertanyaan yang bagi saya tidak berkenan. Akhirnya mereka setuju dan kita interview," ujar dia. 

"Saya juga menjelaskan saya salah satu petugas pendamping anak-anak Wadas yang ketika muncul kericuhan, saya yang menangani mereka. Mengingat kejadian yang pernah terjadi sebelumnya pada 23 April 2021, banyak anak yang mengalami trauma," ujar Yayak. 

Dalam interview itu petugas juga memancing dia membuka dan memperlihatkan isi gawainya. Selain itu Yayak juga ditanyai keterlibatannya dengan beberapa nama yang disebutkan petugas.

Sesuai kesepakatan di awal, interview itu terbatas. Yayak berhak menolak menjawab pertanyaan yang membahayakan dia dan orang lain.

Hampir lima jam mereka berada di Polsek Bener. Hingga menjelang petang, Yayak bersama warga lain dibawa ke Polres Purworejo. Waktu itu KTP mereka disita. 

"Kami sempat diminta pergi, tapi malah dipanggil lagi karena petugas ini minta keterangan tambahan. Menginaplah kita seharian penuh di semacam auditorium polres itu," katanya. 

Warga kembali diinterogasi dengan petugas yang berbeda. Yayak menyebut bahwa petugas ini merupakan dari wilayah lain, sehingga tidak hanya petugas Polisi di Purworejo yang menanyai 67 warga itu.

"Ada yang dipotret sebagai dokumentasi, dan kembali ditanya dengan pertanyaan yang sama dan diminta KTP untuk pendataan. Kegiatan itu terus berulang-ulang dilakukan petugas hingga pukul 03.00 WIB, Rabu (9/2/2022). Saya ikuti saja arahan mereka," tuturnya. 

Yayak membeberkan selama ditahan di Polres, ada sejumlah aktivis yang sengaja dibawa polisi berputar ke tiap Polsek di wilayah Purworejo. Di situasi itu, belasan orang tersebut diduga mengalami kekerasan, mulai dari pukulan hingga tendangan. 

"Saya tahu karena mereka dipisahkan. Dan dihajar oleh petugas aparat tersebut," ujar dia. 

Seharian penuh diamankan polisi dan beristirahat di atas ubin, Yayak akhirnya mulai dibangunkan sekitar pukul 06.00 WIB. Banyak warga yang muntah-muntah akibat seharian ditahan dan diinterogasi sehingga tidur pun tak nyenyak. 

Bersiaplah mereka untuk dikembalikan. Awalnya 67 orang yang diamankan akan diantar dengan truk. Warga keberatan, karena sejak awal polisi menyebut tidak akan menahan, tapi ternyata dilakukan penahanan seharian penuh. 

"Di waktu itu polisi ingin mengantar dengan truk Saya juga bertemu rekan saya, dia juga sebagai asisten dari Wakil Presiden yang relasinya cukup luas. Dia juga sempat menghubungi Ganjar waktu itu. Ia menanyai, perlu tidak visum teman-teman (warga) yang sempat dihajar, tapi tidak tahu kelanjutan seperti apa," kata dia. 

Ia menyebut dari komunikasi salah seorang asisten ini yang juga rekan Yayak, pihaknya meminta warga diantar dengan bus saja. Akhirnya disepakati dan warga lalu menandatangani surat pengembalian barang berupa handphone yang sebelumnya disita polisi. Warga juga diberi kotak berisi sembako. 

"Nah disitulah baru kami dibebaskan dan sekitar pukul 14.00 WIB kita sampai di Wadas. Bingkisan itu ya cara polisi saja untuk mengganti waktu para warga yang ditahan 1 hari 1 malam," katanya. 

Load More