Ronald Seger Prabowo
Selasa, 22 Maret 2022 | 18:34 WIB
Agus Sumadiyono pawang hujan langganan event organizer acara-acara besar di Kawasan Candi Borobudur. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Saat ritual menghalau hujan, Sumadiyono menyiapkan ubo rampe untuk sesajen. Biasanya berupa jajan pasar, pisang raja, dan dupa.

Jika ritual menghalau hujan dirasa berat, Sumadiyono akan melepas warangka (sarung) seluruh keris koleksinya. Di kamar meditasi yang kerap digunakan Sumadiyono untuk ritual menghalau hujan, terdapat puluhan keris dan benda-benda pusaka lainnya.     

“Hanya kebetulan kalau berat, saya minta energi pusaka-pusaka. Kita buka semua agar ada energi bantuan. Di lokasi saya minta supaya membakar dupa," ujar dia.

Pada beberapa kali ritual, Sumadiyono memasang sarana menolak hujan berupa cabai, brambang yang ditusuk pada ujung lidi. Menurut dia, istilah perangkat ritual itu disebut sego wadang.  

“Istilahnya sego wadang. Kita minta supaya padang (terang). Kalau bulu (unggas), itu untuk membuka (mendung). Jadi kita buka, supaya lokasi kita cerah.”

Agus Sumadiyono menolak anggapan bahwa pawang hujan memiliki kekuatan menentang kehendak alam. Inti seluruh ritual adalah memohon kepada Tuhan agar alam merestui acara yang sedang digelar.

“Yang pertama berdoa kepada Tuhan. Kita minta agar alam semesta itu bisa diajak kompromi. Jadi kalau (menurut) saya, ada langit, air, angin, dan matahari. Empat ini yang kita minta supaya bisa mbuka,” ujar Sumadiyono.

Teknologi terkait cuaca yang dikuasai ilmuwan saat ini baru mampu merekayasa turunnya hujan. Garam NaCl ditaburkan pada kumpulan awan sehingga memicu terjadinya hujan.

Garam menjadi inti kondensasi air yang jika terhimpun dalam jumlah banyak akan menyebabkan turunnya hujan. 

Baca Juga: Mengenal Singing Bowl, Mangkuk Emas Mbak Rara Pawang Hujan yang Viral di MotoGP

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More