SuaraJawaTengah.id - Banyak perajin tahu gulung tikar akibat kenaikan harga kedelai dan minyak goreng. Sebagian bertahan dari menjual aset.
Rini (46 tahun) duduk termenung di halaman kantor DPRD Kabupaten Magelang. Bersama ratusan perajin tahu dan tempe lainnya, dia mengadukan masalah kenaikan kedelai dan minyak goreng ke anggota dewan.
“Katakanlah sekarang itu casing-nya Samsung tapi jiwane (hand phone) China. Lagi remuk redam,” kata Rini menggambarkan kesulitan ekonomi yang dihadapi perajin akibat kenaikan harga bahan dasar pembuat tahu dan tempe.
Betapa tidak. Sudah satu tahun terakhir ini kenaikan harga kedelai seperti syahwat politikus gila jabatan -naik hingga lupa turun.
Harga kedelai sempat bertahan di angka ideal Rp7.000 per kilogram hingga akhir tahun 2020. Setelahnya harga terus mendaki hingga menyentuh Rp12 ribu per kilogram.
Ketergantungan pada keran impor, disinyalir menjadi penyebab harga kedelai dalam negeri sulit dikendalikan. Amerika Serikat dengan volume impor 2,15 juta ton, menjadi negara pemasok kedelai terbesar ke Indonesia.
Bahkan negara sebelah kita, Malaysia termasuk sebagai pemasok kedelai impor dengan volume 5.547 ton atau setara dengan US$ 2,46 juta.
Masalah kian runyam bagi para perajin tahu khususnya, sebab kenaikan harga kedelai dibarengi dengan loncatan harga minyak goreng di awal tahun 2022.
Dulu, saat harga kedelai masih adem ayem di angka Rp7.000 per kilogram, Rini mengaku bisa mengantongi untung Rp3 juta hingga Rp4,5 juta per hari. Dia memiliki pengecer sendiri di Pasar Talun, Soko, dan Muntilan.
Baca Juga: Catat! Yenny Wahid Sebut Subsidi Industri Biodiesel Layak Dialihkan untuk Stabilitas Minyak Goreng
Saat itu, pabrik tahunya di Desa Mejing bisa menghabiskan 3,5-4 kuintal kedelai setiap hari. Jumlah itu anjlok drastis dari jumlah konsumsi kedelai hari ini yang hanya 1,5 kuital sehari.
“Sekarang, waduh sudah dipangan (dimakan) kedelai sama minyak goreng. Mahal (harga minyak goreng) tapi barangnya nggak ada. Ya nangis.”
Rini kemudian atur siasat dengan mengurangi ukuran tahu dan mengurangi jumlah pekerja. Dari yang semula 5 orang, sekarang tinggal 3 orang.
Tapi usaha itu tidak membuat usaha tahu Rini keluar dari masalah. Upaya efisiensi tak mampu “adu lari” dengan kenaikan harga kedelai dan minyak goreng.
“Menaikkan harga nggak bisa. Konsumen nanti protes. Kok cuma tahu dan tempe saja kok mahal-mahal. Konsumen lari tetap milih sing iwake to mas (konsumen memilih daging atau ikan).
Manuver terakhir -jika tidak bisa dibilang langkah putus asa- terpaksa diambil. Rini menjual mobil yang biasa digunakan mengangkut tahu ke pasar untuk tombok modal.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
-
Statistik Suram Elkan Baggott Sepanjang 2025, Cuma Main 360 Menit
Terkini
-
8 Wisata Terbaru dan Populer di Batang untuk Libur Sekolah Akhir 2025
-
5 Rental Mobil di Wonosobo untuk Wisata ke Dieng Saat Libur Akhir Tahun 2025
-
Stefan Keeltjes Enggan Gegabah Soal Agenda Uji Coba Kendal Tornado FC
-
7 Poin Kajian Surat Yasin tentang Ilmu, Adab, dan Cara Beragama menurut Gus Baha
-
7 City Car Bekas Rp50 Jutaan yang Cocok untuk Keluarga Baru di 2025