Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 26 Maret 2022 | 08:30 WIB
Perajin tahu dan tempe berunjuk rasa ke kantor DPRD Kabupaten Magelang. Meminta pemerintah membuat aturan keringanan kredit bagi perajin. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

“Sekarang, waduh sudah dipangan (dimakan) kedelai sama minyak goreng. Mahal (harga minyak goreng) tapi barangnya nggak ada. Ya nangis.”

Rini kemudian atur siasat dengan mengurangi ukuran tahu dan mengurangi jumlah pekerja. Dari yang semula 5 orang, sekarang tinggal 3 orang.

Tapi usaha itu tidak membuat usaha tahu Rini keluar dari masalah. Upaya efisiensi tak mampu “adu lari” dengan kenaikan harga kedelai dan minyak goreng.

“Menaikkan harga nggak bisa. Konsumen nanti protes. Kok cuma tahu dan tempe saja kok mahal-mahal. Konsumen lari tetap milih sing iwake to mas (konsumen memilih daging atau ikan).

Baca Juga: Catat! Yenny Wahid Sebut Subsidi Industri Biodiesel Layak Dialihkan untuk Stabilitas Minyak Goreng

Manuver terakhir -jika tidak bisa dibilang langkah putus asa- terpaksa diambil. Rini menjual mobil yang biasa digunakan mengangkut tahu ke pasar untuk tombok modal.

Sebagai gantinya dia mengambil kredit mobil. Harapannya ada keuntungan dari berjualan yang bisa disisihkan untuk membayar cicilan sebesar Rp3 juta per bulan.

“Mobil yang lama dijual buat nambah modal. Terus malah kolaps. Sekarang utang baru setengah main, kedelai (naik jadi) Rp12 ribu, minyak 1 jeriken sampai Rp360 ribu.”

Zonk! Rini terpaksa merelakan mobil kreditan diambil oleh dealer karena 3 bulan menunggak angsuran.

“Mobil pick up buat ngangkut (tahu ke pasar). Dulu harganya Rp105 juta tapi karena tidak bisa bayar ya ditarik dealer. Nggak papalah. Nggak kuat bayar ya gimana,” ujar Rini.

Baca Juga: Bela Megawati Soal 'Menggoreng', Mantan Wali Kota Solo Ungkap Makna Sebenarnya, Sindir Kaum Elit?

Sekarang untuk mengangkut tahu ke Pasar Talun, Soko, dan Muntilan, Rini terpaksa menyewa kendaraan. Biasanya sewa kendaraan dibayar patungan bersama perajin lainnya.

Load More