Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 15 April 2022 | 16:08 WIB
Ilustrasi begal. Pakar Hukum menyebut masyarakat harus berani melawan ketika bertemu begal di jalan. (Suara/Iqbal)

SuaraJawaTengah.id - Korban begal di Lombok NTB yang ditetapkan sebagai tersangka ramai menjadi perbincangan publik. Bahkan kini sang korban begal itu sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian. 

Lalu bagaimana sebenarnya hukum di Indonesia? Apakah membela diri yang menyebabkan kematian teramasuk salah?

Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho mengatakan masyarakat harus berani melawan ketika bertemu begal di jalan.

"Kalau ada begal, lawan, karena itu bagian mempertahankan hak diri, hak atas kesopanan, dan hak untuk hidup. Kita jangan membiarkan orang melakukan kejahatan yang akan mengganggu ketenteraman," kata Hibnu Nugroho dikutip dari ANTARA di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (15/4/2022).

Baca Juga: Setelah Viral, Polda NTB Ambil Alih Kasus Amaq Sinta Korban yang jadi Tersangka karena Bunuh Begal

Selain itu, kata dia, polisi harus memetakan wilayah rawan dan masyarakat juga harus bisa mempersempit ruang gerak begal dengan cara melawan.

Menurut dia, melawan dalam keadaan tersebut dapat berarti menghindar dengan tidak menyerang, kemudian memberikannya kepada penegak hukum.

"Kalau perlu, orang yang melawan begal mendapatkan penghargaan dari polisi, jangan dibalik-balik," katanya

Hibnu pun menyoroti kasus yang dihadapi Murtede alias Amaq Sinta (34), warga Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang sempat ditahan oleh penyidik polres setempat setelah menjadi tersangka karena membunuh dua begal dan melukai dua begal yang lain.

Terhadap perkara tersebut, kata dia, harus dikaji dari segi ilmu pengungkapan perkara, yaitu ilmu forensik.

Baca Juga: Korban Begal di Lombok Jadi Tersangka, Ustaz Ahmad Zainuddin Bicara Soal Hukum Islam: Darah Maling Tidak Ada Nilainya

Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu menyebutkan ilmu forensik terdiri atas tiga indikator, yakni barang bukti, tempat kejadian perkara (TKP), dan menentukan pelakunya.

"Nah, dalam barang bukti dan TKP ini harus dilihat apakah ini dalam keadaan suatu kejahatan dengan tidak ada keseimbangan, apakah ada sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam hal ini akan dilihat kalau perbuatan itu ada keadaan terpaksa, sesuai dengan Pasal 49 Ayat (2) KUHP, orang yang bersangkutan harus dibebaskan," katanya.

Ditegaskan pula bahwa keadaan terpaksa itu harus dikaji dari segi ilmu kedokteran forensik.

"Lukanya seperti apa, sayatannya seperti apa," katanya menjelaskan.

Oleh karena itu, kata dia, dalam konsep tersebut polisi harus hati-hati untuk menetapkan seseorang patut sebagai tersangka ataukah tidak patut sebagai tersangka.

Menurut dia, keadaan objektif itulah yang menentukan bahwa dalam kasus tersebut ada suatu pembelaan terpaksa, ada penyebabnya, dan sebagainya.

"Jadi, bukan kejahatan biasa, tetapi kejahatan yang timbul karena keadaan pembelaan terpaksa. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa itu bisa karena untuk perlindungan hak asasi manusia, untuk perlindungan keamanan serta keselamatannya, dan sebagainya," kata Wakil Rektor Unsoed Bidang Umum dan Keuangan itu.

Load More