Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Selasa, 07 Juni 2022 | 18:41 WIB
Staf Pemanfaatan Balai Konservasi Borobudur (BKB), Mura Aristina menunjukkan batuan Candi Borobudur yang terkikis akibat pijakan kaki para pengunjung. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Tingkat keausan batu anak tangga Candi Borobudur sejak pertama dipugar hingga hari ini rata-rata mencapai 0,04 centimeter. Di beberapa titik, keausan bahkan mencapai 3-5 centimeter.

Tingkat keausan batu terutama terdapat di tangga naik di sisi timur dan tangga turun di sisi utara.

“Penelitian kita prosentase kausan paling besar memang di dua sisi itu,” kata Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Pemeliharaan Candi Balai Konservasi Boroudur, Bramantara, Selasa (7/6/2022).

Menurut Bramantara, tingkat keausan pada anak tangga memiliki prosentase yang berbeda-beda. Tingkat keausan paling besar terjadi pada bidang anak tangga yang paling sering diinjak pengunjung.

Baca Juga: Menparekraf Sebut Pembatasan Kunjungan di Candi Borobudur Jadi Keharusan, Begini Alasannya

“Mungkin itu yang dipijak terus dari dulu. Dari tahun 1983 (setelah pemugaran) sampai sekarang. Tapi rerata (tingkat keausan) ya sekitar itu tadi,” ujar Brahmantara.  

Pada tahun 2010, Balai Konservasi Borobudur pernah melakukan penelitian soal tingkat keausan pada bidang anak tangga. Hasilnya, rata-rata tingkat keausan batu penyusun struktur tangga pada sisi timur mencapai 74,40 persen.

Sedangkan rata-rata prosentase keausan batu struktur tangga pada sisi barat dan utara mencapai 63,39 persen dan 27,84 persen. Prosentase pengikisan ini dihitung sejak candi selesai dipugar tahun 1983 hingga 2010.

Pada tahun 1985 penelitian menyebutkan ditemukan 801 blok batu yang mengalami keausan. Pada hasil pengamatan tahun 2000, jumlah batu yang aus karena gesekan, meningkat menjadi 1.383 blok batu.

Bramantara dan kawan-kawan, pada tahun 2018 merilis hasil penelitian “Kajian Permukaan Halaman Candi Borobudur dan Korelasi dengan Keausan Batu Tangga," paparnya.

Baca Juga: Pro dan Kontra di Balik Rencana Kenaikan Harga Tiket Naik ke Stupa Candi Borobudur

Hasilnya keausan terbesar disebabkan aktifitas manusia. Material pasir yang terbawa alas kaki pengunjung lama kelamaan menggerus batu Candi Borobudur.

Pada tangga naik dari tahun 2003 hingga 2007 terjadi tingkat keausan sebesar 0,7 centimeter. Tingkat keausan pada tangga turun di sisi utara, selatan dan barat, mencapai 0,8 cm per tahun.

Menurut Bramantara, melihat tingkat keausan batu pada struktur tangga Candi Borobudur, pembatasan jumlah pengunjung menjadi penting dilakukan saat ini.

“Kita bicara sekarang soal visitor manajemen. Dimanapun esensinya, dimanapun lokasinya apalagi yang sudah menjadi world heritage ya pembatasan itu dimana-mana sudah diterapkan," ujar dia.

Pembatasan jumlah pengunjung sesuai dengan arahan rekomendasi mempertahankan struktur bangunan candi.

“Kemudian ada polemik soal harga tiket, kita (BKB) nggak ada urusan dengan itu. Pembatasan ini kami lakukan atau rekomendasikan sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan agar usia candi itu bisa lebih lama lagi,” kata Bramantara.

Langkah itu sesuai dengan rekomendasi UNESCO yang melakukan reactive monitoring mission UNESCO pada Februari 2006. Pengelolaan pengunjung menjadi salah satu yang direkomendasikan pada temuan UNESCO.

“Rekomendasi di beberapa reaktif monitoring UNESCO tahun 2006 dan di beberapa dokumen lainnya juga merekomendasikan harus ada pengaturan pengunjung," ucapnya.

Esensi pengaturan kapasitas pengunjung yang dapat naik ke badan candi adalah mengurangi dampak keausan. Meskipun ada sejumlah penyebab lain seperti perubahan cuaca, namun dampaknya tidak signifikan.

Terbatasnya ruang gerak di lorong candi sebagai dampak over kapasitas pengunjung, berpotensi merusak relief.  

“Kalau ruangnya nggak dikontrol, physical carrying capacity, otomatis ketika di lorong misal cukupnya hanya untuk 2 orang terus dipaksa jadi 6 orang, otomatis yang 4 entah sengaja atau nggak (akan) menggesek batu relief,” kata Bramantara.

Staf Pemanfaatan Balai Konservasi Borobudur (BKB), Mura Aristina mengatakan, keausan batuan Candi Borobudur di banyak titik menujukkan kerusakan yang parah.

Dia berharap masyarakat memahami jika kedepan akan diberlakukan pembatasan jumlah pengunjung yang naik ke badan candi sebanyak 1.200 orang per hari.

“Secara kasat mata, secara umum Borobudur terlihat baik-baik saja. Tapi ternyata keausannya cukup parah. Harapannya masyarakat semakin paham dan sadar pentingnya melestarikan warisan budaya dunia, Candi Borobudur,” kata Mura.

Bahasan soal pelestarian Candi Borobudur menyeruak bersamaan dengan wacana menaikkan harga tiket naik ke Candi Borobudur.

Rencana menaikkan harga tiket itu diungkapkan Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan melalui akun Instagram  @luhut.pandjaitan, pada Sabtu (4/6/2022).  

Rencana manaikkan harga tiket untuk membatasi kuota turis yang akan naik ke badan Candi Borobudur. Kuota turis yang boleh naik ke Candi Borobudur akan dibatasi 1.200 orang per hari.

“Dengan biaya 100 dolar untuk wisman (wisatawan manca negara) dan turis domestik sebesar Rp750 ribu. Khusus untuk pelajar, kami berikan biaya Rp5 ribu saja. Sedangkan untuk masuk ke kawasan candi akan tetap mengikuti harga yang sudah berlaku," tegasnya.

Wacana kenaikan harga tiket naik ke Borobudur itu salah satunya dikritik Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia.

Ketua Pelaksana Harian DPP Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia, Eric Fernando mengatakan, pengelolaan Candi Borobudur harus diperkuat dari sisi spiritual-keagamaan.

Dia mendukung upaya pemerintah menjaga kelestarian Candi Borobudur sebagai situs warisan budaya dunia. Termasuk mendukung aturan kapasitas maksimum jumlah pengunjung yang bisa naik ke struktur puncak bangunan atau Arupadhatu.

“Seharusnya yang bisa naik ke Arupadhatu hanya umat Buddha yang sedang melakukan peribadatan seperti pradaksina atau san bu yi bai,” kata Eric Fernando.

Menurut Eric, upaya mengkomersialisasi Candi Borobudur dengan pemberlakuan tiket dengan harga mahal bagi wisatawan yang akan naik ke struktur puncak bangunan, harus dikaji ulang.

Dia berharap fungsi Candi Borobudur sebagai sarana edukasi dan budaya tidak hilang. “Jangan sampai pengelolaan Candi Borobudur semakin jauh dari fungsi awalnya untuk peribadatan agama Buddha," pungkasnya.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More