Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 10 Agustus 2022 | 13:07 WIB
Petani tengah memanen tambak ikan bandeng yang terendam rob di Kelurahan Margadana, Kecamatan Margadana, Kota Tegal, Rabu (10/8/2022). [Suara.com/F Firdaus]

SuaraJawaTengah.id - Perubahan iklim yang dipicu pemanasan global berdampak luar biasa pada petani tambak di Kota Tegal. Beberapa tahun terakhir, para petani selalu mengalami kerugian karena tambak mereka diterjang rob.

Abdul Wahab (53) hanya bisa mengenang masa-masa ketika tambak ikan miliknya mampu memberi penghasilan lebih dari cukup. Banjir rob yang kian parah dalam beberapa tahun terakhir membuat warga Kelurahan Margadana, Kecamatan Margadana, Kota Tegal itu tak lagi bisa mengandalkan tambak miliknya sebagai sumber penghidupan keluarganya.

"Dua sampai tiga tahun terakhir‎, petani tambak selalu rugi karena kena rob. Dampaknya parah," kata Wahab kepada Suara.com, Rabu (10/8/2022).

‎Ketua Kelompok Budidaya Ikan (Pokdakan) Sumber Rejeki itu mengungkapkan, dampak rob paling besar sejak dirinya menjadi petani tambak dirasakan pada Mei 2022 lalu. Saat itu, rob merendam tambak-tambak ikan dan udang di Kecamatan Margadana yang berjarak sekitar dua kilometer dari laut.

Baca Juga: Perubahan Iklim Berdampak Pada Ketahanan Pangan Indonesia Tahun 2021

‎Ketinggian robnya yang mencapai setengah meter lebih, sampai meluap melewati tanggul tambak. ‎Jika tak cukup kuat, tanggul juga ada yang jebol diterjang rob.

"Akhirnya udang, ikan yang sudah siap panen pada lari semua terbawa rob dan tidak bisa dipanen. Kerugiannya luar biasa. Dulu tidak separah itu kalau rob. Rob sekarang juga lebih lama, tidak kaya dulu. Ditambah cuaca ekstrem, hujan tidak bisa diprediksi. Kita seperti melawan alam," ujarnya.

Jangankan memberi keuntungan, Wahab menyebut hasil yang didapat dari panen bahkan‎ tak bisa untuk sekedar menutup biaya operasional untuk panen, apalagi menutup keseluruhan biaya operasional. 

Dia mencontohkan, biaya operasional sejak mulai menebar bibit hingga panen untuk tambak ikan nila dengan luas satu petak atau 2.500 meter persegi mencapai Rp15 juta. Sedangkan hasil panen yang didapat hanya Rp500 ribu. 

"Untuk operasional panen saja Rp1 juta tidak bisa nutup, apalagi untuk biaya bibit, pakan dan segala macam. Bandeng dan udang juga sama‎. Rugi," ungkapnya.

Baca Juga: Kenaikan Suhu di Indonesia Bisa Capai 3 Derajat Celsius di Akhir Abad 21, BMKG Ingatkan Perubahan Iklim

Kondisi tersebut berbeda dengan sebelum ada dampak perubahan iklim. Kala itu, petani tambak seperti Wahab bisa menghasilkan Rp20-25 juta sekali panen. 

Selain dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, dari hasil panen, petani tambak juga bisa ‎membeli sepeda motor hingga rumah.

"Sekarang buat modal saja susah‎. Jadi buat memenuhi kebutuhan sehari-hari, buat biaya sekolah anak kepontal-kepontal," tuturnya.

Menurut Wahab, ikan dan udang hasil panen tambak petani di wilayah Margadana biasanya mampu memenuhi permintaan dari tengkulak atau pembeli lokal. Petani tak perlu susah-payah mencari ‎pembeli, bahkan kerap kewalahan memenuhi permintaan.

"Dulu itu kalau panen giliran. Tengkulak dan bakul tidak kekurangan. Sekarang kekurangan karena hasil panennya sedikit," kata dia.

Wahab mengatakan, rata-rata tambak ikan bandeng sekali panen biasanya bisa menghasilkan 1,5 ton ikan. Belakangan ini, hasil panen paling banyak hanya mencapai lima kuintal.

"Itu pun tidak bisa panen total atau sekali panen, hanya parsial. Ikannya juga tidak sebesar dulu karena pengaruh cuaca. Airnya lebih dingin. Satu kilo biasanya tiga sampai empat ikan, sekarang 10 ikan," ucap pria yang sudah 20 tahun menjadi petani tambak.

Di Kecamatan Margadana, terdapat tiga kelompak petani tambak, yakni ‎Pokdakan Sumber Rejeki, Pokdakan Margadana, dan Pokdakan Kemiri Barat. Satu kelompok beranggotakan sekitar 20 petani.

Menurut Wahab, para petani tambak di Margadana berharap ada upaya normalisasi saluran dari tambak menuju ke muara sungai yang mengalami pendangkalan untuk mengurangi dampak banjir rob. Dengan adanya saluran itu, banjir rob diharapkan bisa cepat surut.

"Selain berharap ada solusi itu, selebihnya petani ya hanya bisa pasrah. Kalau mengharapkan bantuan lain, seperti bibit misalnya, prosesnya juga pasti lama," ucapnya.

Kontributor : F Firdaus

Load More