Budi Arista Romadhoni
Kamis, 11 Agustus 2022 | 14:23 WIB
Tasiman (kiri) memasukkan gabah padi ke dalam karung usai masa panen di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, Kamis (11/8/2022). [Suara.com/Anang Firmansyah]

SuaraJawaTengah.id - Cuaca kian tak menentu. Bencana alam semakin menjadi. Hal ini diprediksi karena semakin nyatanya perubahan iklim yang sudah dikhawatirkan oleh para ilmuwan sejak beberapa tahun terakhir.

Terakhir Presiden Jokowi memerintahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengidentifikasi risiko perubahan iklim dan dampaknya secara menyeluruh.

Selain berdampak meningkatnya bencana alam, perubahan iklim juga mempengaruhi siklus tanam lahan pertanian. Namun tak sedikit juga para petani yang menganggap perubahan iklim menjadi biangkeroknya.

Tasiman (64) satu diantaranya. Ia menjadi petani di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas sejak usianya masih muda. Saat itu, ia mengaku dalam satu tahun bisa panen sebanyak tiga kali. Namun kondisinya berubah dalam 3 dekade ini.

"Saya jadi petani sejak masih muda, tahun 70 an. Dahulu panen padi itu bisa tiga kali dalam setahun sebelum tahun 80 an. Tapi sekarang tidak bisa, karena masalah pengairan," katanya saat ditemui disela memanen padi, Kamis (11/8/2022).

Dahulu, air yang bersumber dari Sungai Banjaran mengalir untuk mengairi persawahan di daerah sini. Namun ia mengira, sejak banyaknya perumahan di Purwokerto kondisinya berubah.

"Orang yang bertani kan bukan cuma sini saja. Ada di daerah Kedungrandu, lalu Sidabowa. Jadi air tidak hanya dipakai sini saja. Jadi gantian pakai airnya," terangnya.

Padahal, jarak lahannya dengan Sungai Serayu hanya bekisar 1 km an, tapi kontur lahannya yang berada di sebelah utara sungai tersebut tidak memungkinkan untuk mengairi lahan pertaniannya.

"Kalau dari Serayu yang bisa pakai dari daerah Gombong sampai Cilacap. Memang susah untuk pengairan," jelasnya.

Baca Juga: Tak Hiraukan Perubahan Iklim, Petani di Bantul Tetap Lestarikan Metode Pranta Mangsa untuk Tentukan Masa Tanam

Ia sudah sejak lama meninggalkan metode perhitungan jawa untuk diterapkan dalam pertanian. Karena sudah tidak memungkinkan melihat cuaca yang sudah tidak tentu.

"Sekarang kan yang penting kalau ada air ya nanem. Tidak bisa lagi (perhitungan jawa) seperti Okmar (Oktober-Maret). Itu pun kalau bisa. Kadang telat soalnya airnya susah," ujarnya.

Saat ini, ia tidak bisa memprediksi masa waktu panen. Selepas panen ini, menurutnya baru bisa merasakan panen lagi pada pertengahan tahun depan.

"Ini panen lagi sepertinya Bulan Juli tahun depan. Soalnya lahan ini nganggur, pengesatan Bulan September itu rutin karena ada perawatan saluran air," tuturnya.

Petani Diminta untuk Adaptasi

Berkaitan dengan adanya pergeseran masa tanam, Dosen Fakultas Pertanian Unsoed, Ahadiyat Yugi R. S.P., M.Si., D.Tech.Sc menjelaskan terdapat berbagai faktor penyebabnya. Salah satunya adalah perubahan iklim yang sudah mulai nampak.

Load More