Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Selasa, 23 Agustus 2022 | 18:03 WIB
Jumlah penumpang angkutan kota trayek Terminal Muntilan-Terminal Tidar saat ini jauh berkurang. Banyak orang memiliki motor sendiri atau memilih bepergian naik taksi atau ojek online. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Peran angkutan kota alias angkot perlahan tergantikan oleh taksi dan ojek online. Bakal dipepet juga rencana kenaikan harga bahan bakar minyak.

Suharyanto (48 tahun) sesekali melirik kaca spion tengah. Mengawasi tiga orang penumpangnya di bangku belakang, yang jumlahnya tak bertambah sejak berangkat dari Terminal Muntilan, Magelang.

“Sekarang tambah sulit. Pemasukan sekarang ya kayak begini. Nariknya sepi nggak seperti dulu,” kata Suharyanto kepada SuaraJawaTengah.id, Selasa (23/8/2022).

Ruas Jalan Magelang-Yogyakarta pagi itu lumayan lengang. Angkot yang dikemudikan Suharyanto melaju lancar nyaris tanpa hambatan.

Baca Juga: Jokowi Tegaskan Hati-Hati Atur Harga BBM Subsidi

“Penumpang berkurang setelah banyak yang punya motor. Taksi dan ojek online itu kan ada pengaruhnya juga. Kalau penumpang anak sekolah sih nggak begitu (pengaruh)," tuturnya.

Sambat Suharyanto soal berkurangnya jumlah penumpang, jeda sebentar saat angkot berhenti di depan Seminari Mertoyudan. Satu orang bapak berkemeja kotak-kotak naik dan duduk di sisi kiri kursi penumpang.  

Sepanjang perjalanan Suharyanto bercerita soal perubahan dunia perangkotan di Magelang. Sejak dia pertama kali pegang kemudi tahun 1995 hingga hari ini.

Menurut Suharyanto penghasilan yang didapatnya dari mengemudi angkot tidak bertambah signifikan selama 27 tahun terakhir. Kenaikan penghasilan tidak sebanding dengan loncatan harga-harga kebutuhan.

Dikejar Setoran

Baca Juga: Viral Video Pria Emosi Ditolak Membeli BBM Pakai Uang Rp 50 Ribu Keluaran Terbaru, Ini Klarifikasi Petugas SPBU

Dia menganalogikan perbandingan pendapatan dulu dan sekarang dengan kemampuannya membeli sepotong celana jeans merek Cardinal.

Saat angkutan umum masih merajai jalanan, Suharyanto menerima upah nyopiri angkot sebesar Rp10 ribu sampai Rp20 ribu per hari. Itu sekira tahun 1995 atau 1996, saat sepotong celana Cardinal dibaderol Rp30 ribu. 

“Dulu misalkan kerja 2 hari sudah bisa beli celana. Sekarang celana Cardinal itu harganya Rp500 ribu. Pendapat saya sehari hanya Rp40 ribu sampai Rp50 ribu. Berarti kan nggak ada kenaikan," ungkap dia. 

Pendapatan sopir angkot kata Suharyanto, habis untuk beli bahan bakar minyak. Satu perjalanan pulang-pergi atau sering disebut satu rit, memakan biaya bensin Rp25 ribu.

Padahal tarikan ongkos penumpang yang dikantongi Suharyanto dari setiap rit tidak pasti. Seperti pagi tadi, hasil hitung-hitung saat berhenti sejenak di Terminal Tidar, uang terkumpul hanya Rp56 ribu.

Sepagi itu Suharyanto sudah 2 kali pulang-pergi menyusuri Jalan Magelang-Yogyakarta. Mengantar penumpang antara Terminal Muntilan ke Terminal Tidar di Jalan Ikhlas, Kota Magelang.

Jika dipukul rata setiap rit Suharyanto mendapat uang Rp35 ribu, hasil yang diterimanya setiap rit -setelah potong beli bensin- hanya Rp10 ribu.   

“Misal sehari bisa narik sampai 5 rit, berarti kan cuma dapat setoran saja Rp50 ribu. Belum untuk makan dan yang lain-lain," paparnya.

Angkot yang dibawa Suharyanto milik orang lain yang berarti dia harus menyerahkan setoran. Dulu sebelum pandemi Covid, bos angkot menetapkan setoran Rp70 ribu sehari.

Saat penumpang berkurang drastis selama pandemi, ada keringanan membayar setoran hanya Rp50 ribu sehari. Itupun setoran kadang tidak terpenuhi karena tidak ada penumpang.   

“Ya mau bagaimana lagi. Rata-rata angkot kan dibawa pulang oleh sopir. Kalau hari ini nggak dapat setoran, mudah-mudahan besok dapat. Satu minggu semoga bisa nutup," jelas Suharyanto.

Dia agak lega jika kebetulan mendapat permintaan carteran. Ongkos carteran biasanya cukup untuk menutup 1 hari setoran.

“Misal satu minggu nggak mampu, ya sudah berarti ada hari yang ngeblong begitu. Misal harusnya setoran tujuh hari, ya berarti cuma bisa setor 6 hari. Selama pandemi tetap narik angkot. Kalau nggak narik terus mau apa,” tukasnya.

Berjuang untuk Dapur

Dihitung secara matematis, pendapat Suharyanto dalam sehari pasti kurang untuk mememenuhi kebutuhan keluarga. Anak pertamanya sudah lulus SMA serta anak kedua duduk di bangku SMP.

“Yang bontot masih kecil. Empat tahun. Untuk kebutuhan sehari-hari itu kan sekarang anak 3, pengeluaran Rp50 ribu pasti itu,” kata Suharyanto.

Tapi rezeki siapa tahu. Tidak setiap hari Suharyanto mendapati nasib sepi penumpang.

Dia malah mengakui bahwa belakangan ini kondisi mulai membaik. Usaha orang-orang mulai kembali bergeliat setelah lebih dari 2 tahun dihajar Covid.

“Sekarang-sekarang ini sudah lumayan stabil. Kemarin nutup setoran. Bersih. Maksudnya sudah potong makan dan bensin dapat Rp100 ribu. Buat setoran Rp50 ribu, buat di rumah Rp50 ribu,” jelasnya.

Dia menyayangkan jika rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak benar-benar terjadi. Situasi itu pasti akan menganggu dunia usaha yang sedang berjuang bangkit dari cekikan pandemi.

Sebagai sopir angkot, satu-satunya solusi mengatasi kenaikan bahan bakar minyak apa lagi kalau bukan menaikkan tarif angkutan. Organda pasti akan memberlakukan tarif baru menyesuaikan besaran kenaikan harga BBM jenis Pertalite.

“Semoga saja nanti penumpang bisa menerima kalau ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Yang penting BBM nggak sulit. Itu saja," tegas dia.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More