Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 30 Agustus 2022 | 11:21 WIB
Pembeli memilih telur yang dijual di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (27/12/2021). [ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya]

SuaraJawaTengah.id - Harga pangan di Indonesia semakin tidak bisa dikendalikan. Seperti telur ayam, harganya terus mengalami kenaikan. 

Menyadur dari BBC Indonesia, Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia menyatakan harga telur ayam "mustahil turun dari angka Rp27.000 per kilogram" setelah sempat mencapai "harga tertinggi" dalam sejarah.

Meroketnya harga telur ayam saat ini dipengaruhi oleh mahalnya pakan dan bibit ayam petelur, serta belum stabilnya produksi setelah banyak peternak mengurangi populasi ayam bahkan gulung tikar akibat dihantam pandemi.

Menanggapi persoalan ini, Kementerian Perdagangan menjanjikan bakal mencari jalan keluar agar persoalan serupa tidak terulang lagi.

Baca Juga: Harga Telur Naik Rp32.000 Per Kilogram, Pedagang di Sumsel Mengeluh: Pembeli Sepi

Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkopas), Ngadiran, mengatakan per Minggu (28/8/22) harga telur ayam di pasar Pulau Jawa berada di kisaran Rp32.000 per kilogram dari sebelumnya sempat menyentuh Rp35.000.

Sedangkan di luar Pulau Jawa masih berada di kisaran Rp34.000 per kilogram.

Ngadiran menyebut, kenaikan harga telur ayam ini terjadi sejak dua minggu belakangan dan menjadi yang tertinggi dalam sejarah.

"Memang betul tertinggi. Biasanya Rp28.000 sampai Rp29.000 di awal tahun ini, lalu sempat Rp23.000 sampai Rp24.000 per kilogram," kata Ngadiran pada Minggu (28/8/2022).

Harga telur ayam yang naik tajam berdampak pada turunnya pembeli. Kalau biasanya konsumen beli hingga satu kilogram, sekarang cuma setengah kilo.

Baca Juga: Harga Telur Melonjak, KPPU Bentuk Tim Periksa Produsen Telur di Sulawesi Selatan

Omset turun hingga berhenti jualan

Penjual kue dan roti rumahan di Jakarta, Sintya Johana, membenarkan hal itu.

Ia bercerita, sejak harga telur ayam naik pada Juli lalu, dia sudah berhenti menjual kue atau roti yang memerlukan bahan telur dalam jumlah banyak. Kecuali kalau ada pesanan khusus, itu pun dengan harga baru.

"Soalnya cake yang saya bikin bahan-bahannya premium jadi harga cake buatan saya di atas Rp100.000 semua. Sejak harga telur ayam enggak turun-turun dari Juli lalu, alternatifnya saya fokus jual makanan jajanan pasar yang tidak memerlukan banyak telur," ujar Sintya.

Sejak tak lagi menjual kue dan roti, Sintya mengatakan omsetnya berkurang jauh. Sebab kalau hanya mengandalkan jajanan pasar, untungnya tak seberapa.

Dia cuma berharap agar harga telur bisa di bawah Rp30.000, dengan begitu bisa memulai usahanya kembali.

Sementara itu Endah Lismartini, penjual kue dan roti rumahan di Bogor, Jawa Barat, mengaku sudah kehabisan kesabaran untuk berharap harga telur ayam bakal turun.

Kata dia, kalau sampai dua pekan ke depan harga telur ayam tak kunjung melandai tak ada jalan lain selain menaikkan harga kuenya. Meski ada konsekuensi ditinggal pembeli atau penjualan menurun.

"Setelah lebaran Idul Adha kan harga telur naik. Saya nunggu-nunggu kok enggak turun-turun ya. Soalnya biasanya sehabis Lebaran barang-barang cenderung turun pelan-pelan. Tapi ini sudah dua bulan lebih enggak turun, paling Rp28.000," tutur Endah.

Gara-gara harga telur naik, keuntungan yang didapatnya jauh berkurang. Di sisi lain, dia tidak tega menaikkan harga kue dan roti buatannya.
Endah kadang mengali kenaikan harga telur dengan membeli dalam jumlah besar atau per peti, bukan kilogram.

"Kalau beli dalam jumlah besar ada keringanan lah."

Kenapa harga telur ayam mahal?

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Syailendra, mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan harga telur ayam naik.

Pertama karena jumlah peternak ayam petelur turun sekitar 30%.

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan pemerintah menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat, permintaan akan telur ayam menurun drastis sementara produksi tak berkurang.

Ketidakseimbangan itu, kata Syailendra, membuat harga telur ayam anjlok hingga Rp14.000 per kilogram, sementara biaya produksi lebih mahal.

"Bayangkan berapa bulan konsumen membeli dengan harga murah, itu peternak menjerit. Akhirnya banyak yang gulung tikar bahkan ada yang mengurangi populasi ayam petelurnya. Otomatis produksi turun," ujar Syailendra.

Kedua, harga pakan yang naik baik yang bersumber dari dalam negeri maupun impor. Catatan Kemendag, harga pakan sekarang Rp6.800 hingga Rp7.200 per kilogram.

Ketiga, adanya program bantuan sosial (bansos) dari Kementerian Sosial berupa bagi-bagi kebutuhan bahan pokok termasuk telur ayam.

"Bansos dari Kemensos diberikan berupa uang ke daerah, oleh daerah membelikan sembako, salah satu telur ayam. Jadi permintaan telur langsung naik tajam sehingga suplai ke pasar berkurang."

"Itu (bansos) ikut mendorong (kenaikan harga), tapi bukan pemicu utama."

Pemantauan di lapangan, permintaan akan telur ayam melonjak hingga 60%. Kemendag pun berjanji untuk menstabilkan harga dalam beberapa pekan ke depan.

Pasalnya para peternak sudah menambah populasi ayam petelur.

Dalam jangka panjang, Kemendag bakal membuat kalkulasi antara kebutuhan nasional dengan konsumsi sehingga bisa mewan-wanti kekurangan produksi seperti yang terjadi sekarang.

Harga telur ayam mustahil turun

Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN), Alvino Antonio, mengatakan harga telur ayam di peternak per kilogram masih di kisaran Rp27.000 sampai Rp28.000.

Masih tingginya angka itu diakuinya karena harga pakan yang mahal, belum stabilnya produksi, dan adanya program bansos pada pertengahan Agustus lalu.

Untuk bansos, meskipun ia tak tahu persis jumlah telur ayam yang diborong, tetapi angkanya "sangat banyak" sehingga turut memengaruhi pasokan ke pasar.

"Permintaan telur ayam untuk bansos itu untuk keperluan di seluruh Pulau Jawa. Kalau cuma Jabodetabek mungkin enggak begini gejolaknya."

Namun, satu faktor yang tak diperhitungkan pemerintah adalah mahalnya harga bibit ayam petelur yang dijual perusahaan besar.

Kalau tiga bulan lalu per ekornya Rp5.000, sekarang naik tiga kali lipat mencapai Rp15.000.

"Di situlah harusnya pemerintah mencari tahu benar tidak sih mahalnya harga bibit ayam petelur karena pakan? Pantas tidak sih harga segitu? Tapi pemerintah khususnya Kementan diam saja. Karena kalau itu naik, kan bisa pengaruhi harga telur ayam. Cuma pemerintah cuek."

Alvino mengatakan selama persoalan itu tidak diberesi maka harga telur ayam akan tetap di atas Rp27.000 per kilogram.

"Kalau harga bibit turun, bisa turun lagi harga telur ayam."

Apa solusi yang bisa dilakukan pemerintah?

Pengamat ekonomi politik pangan, Khudori, menyebut karena 98% produksi telur ayam berasal dari peternak mandiri maka pemerintah disarankan memberikan keringanan kredit bagi mereka yang akan membuka kembali usaha ternak ayam petelurnya.

Sebab semakin cepat produksi telur ayam ditingkatkan, harga di pasaran akan lekas stabil.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong kebijakan hilirisasi untuk telur. Tujuannya supaya produksi telur yang surplus tersebut bisa tetap diserap, meskipun terjadi gonjang-ganjing seperti pandemi.

"Hilirisasi itu bisa mengembangkan produk tepung telur. Selama ini kan tepung telur masih impor. Nah mestinya ini bisa didorong, jadi kalau surplus [telur ayam] tidak masalah karena diserap di pabrik dan itu kebutuhannya ada."

Load More