Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 06 September 2022 | 11:36 WIB
Ilustrasi warga membeli BBM di SPBU Koko Kuningan, Jakarta, Minggu (10/2). Indef menilai pemanfaatan BBM bersubsidi selama ini belum sesuai dengan prinsip keadilan karena angka konsumsi didominasi masyarakat mampu. [Suara.com/Muhaimin A Untung]

SuaraJawaTengah.id - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi polemik di masyarakat. Pro dan kontra dengan kebijakan tersebut pun terus dibahas. 

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menilai pemanfaatan bahan bakar minyak bersubsidi selama ini belum sesuai dengan prinsip keadilan karena angka konsumsi didominasi masyarakat mampu.

"Konsumsi BBM didominasi oleh masyarakat mampu, di mana 80 persen pertalite dan 95 persen solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu, sehingga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan," ujar Berly dikutip dari ANTARA, Selasa (6/9/2022).

Berly mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah harus membuat penyesuaian harga BBM, di antaranya pemulihan ekonomi setelah COVID-19 reda dan invasi Rusia ke Ukraina yang mendorong kenaikan harga minyak dunia hingga menembus angka 100 dolar AS per barel.

Baca Juga: Selain Sampang, Demo Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Juga Terjadi di Malang

Menurutnya, kompensasi yang dianggarkan dalam APBN 2022 sebesar Rp18,5 triliun tidak cukup untuk menjaga harga solar dan pertalite.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, alokasinya pun ditambah menjadi Rp252,4 triliun. Namun, angka penambahan itu ternyata masih tidak cukup, sehingga diperkirakan perlu tambahan anggaran untuk subsidi BBM sebesar Rp195,6 triliun sampai akhir tahun ini.

"Anggaran kompensasi BBM sebesar Rp448,1 triliun mendekati 15 persen dari APBN 2022 alias melebihi semua kategori belanja lain kecuali pendidikan. Padahal dari tiga fungsi APBN, yaitu stabilisasi, distribusi, dan alokasi, maka tidak tepat bila fungsi stabilitas dalam konteks ini harga solar dan pertalite ketika harga minyak global meroket, mengalahkan dua fungsi lainnya," kata Berly.

Berly yang juga dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia menyatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih dari banyak opsi yang tidak sempurna dan ada dampak negatifnya. Tantangan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan adalah mencari dan mengambil opsi yang paling sedikit dampak negatif atau least worse.

"Dengan pertumbuhan kuartal II-2022 menembus 5,4 persen dan terjadi deflasi 0,2 persen pada Agustus, saat ini opsi kebijakan yang least worse adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak," terangnya.

Baca Juga: Petani Karet soal Kenaikan BBM: Kebijakan Pemerintah Bikin Kami Makin Susah

Berly mengatakan bantuan sosial selama pandemi yang masih jauh dari sempurna menurut kajian BPS perlu diperbaiki pada penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM 2022, karena data masyarakat miskin dan rentan terakhir diperbarui dengan sensus terbatas nasional tahun 2015. Pemerintah perlu mengevaluasi data itu secara akurat untuk diumumkan ke publik.

"BLT adalah pelampung bagi warga yang miskin dan rentan dalam kapal ekonomi Indonesia yang sedang menghadapi badai sehingga tetap mengapung dan tidak terbenam sehingga perlu tepat sasaran," ujar Berly.

Berly menambahkan bahwa realokasi subsidi BBM secara historis akan meningkatkan inflasi khususnya di sembako dan makanan, sehingga kenaikan harga transportasi publik perlu dihitung seksama secara supaya tidak terlalu tinggi dan melebihi kenaikan biaya operasi terlalu tinggi.

Formula kenaikan Upah minimum Regional (UMP) di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 juga perlu direvisi, sehingga setidaknya setara dengan inflasi untuk melindungi daya beli pekerja.

"Nelayan yang dalam proses mencari ikan menggunakan solar perlu perlindungan dan bantuan khusus, sehingga tidak kehilangan mata pencariannya," jelasnya.

Berly meminta pemerintah menjadikan realokasi subsidi BBM sebagai bagian kebijakan sistematis menuju ekonomi hijau dengan meningkatkan insentif untuk energi terbarukan, perbaikan transportasi publik di wilayah urban.

Selain itu, dia juga meminta penetapan kerja dan kuliah dari rumah setidaknya 40 persen atau dua hari seminggu untuk mengurangi penggunaan BBM dan emisi karbon dalam jangka menengah.

Load More