Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 07 September 2022 | 08:50 WIB
Potret Tokoh Muda Nahdlatul Ulama Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir. (Foto: NU Online)

SuaraJawaTengah.id - Tokoh muda Nahdlatul Ulama Nadirsyah Hosen turut angkat bicara mengenai tewasnya santri Gontor yang diduga jadi korban penganiayaan.

Pria yang akrab disapa Gus Nadir ini memberikan peringatan kepada seluruh lembaga pendidikan untuk tidak lagi memberikan hukuman fisik kepada murid-muridnya.

"Semua lembaga pendidikan pada jenjang apapun, sebaiknya tidak lagi mengenakan hukuman fisik dengan kekerasan," kata Gus Nadir melalui akun twitternya yang dikutip pada Rabu (7/9/2022).

Gus Nadir pun secara khusus meminta pihak Pondok Modern Darussalam Gontor untuk segera berbenah mengenai segala segala aturan maupun hukuman yang telah diberlakukan.

Baca Juga: Olah TKP di Ponpes Gontor, Polisi: Ada 50 Adegan Prarekonstruksi

"Lembaga modern, wa bil khusus, sebaiknya meninggalkan cara-cara klasik semacam itu. Dan kalau ada korban, jangan ditutup-tutupi. Jangan sampai kena #SindromSambo," ungkapnya.

Pernyataan Gus Nadir itu mendapat dukungan dari beberapa warganet di kolom komentar.

"Bener Gus, zaman sekarang sulit untuk menutupi kasus seperti itu. Sudah jamannya canggihnya media sosial. Pasti terbongkar dan jadinya turun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut," ucap akun @Asyudi**.

"Jangan juga ada perpeloncoan," kata akun @aris**.

"Harus ada sosialisasi menyeluruh kepada semua pihak, upaya pencegahan jauh lebih penting dibandingkan penindakan," tutur akun @MI_24**.

Baca Juga: 50 Adegan Prarekonstruksi Tewasnya Santri Albar Mahdi Digelar di Pondok Gontor

Sebelumnya diberitakan seorang santri meninggal dunia karena dugaan penganiayaan saat menempuh pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor 1 Pusat, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Pihak keluarga korban lantas mendesak aparat kepolisian setempat untuk memproses hukum dan mengusut tuntas kasus tersebut.

Kuasa Hukum keluarga korban Titis Rachmawati kepada wartawan di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, mengatakan santri yang menjadi korban penganiayaan itu seorang remaja laki-laki berinsial AM (17 tahun), warga Kota Palembang, Sumatera Selatan, yang merupakan putra dari Ibu Soimah.

Titis menjelaskan, pihak keluarga mendesak kepolisian setempat memproses hukum kasus dugaan penganiayaan yang menimpa anaknya karena adanya sikap inkonsistensi dari pihak Pondok Pesantren Darussalam Gontor atas informasi yang disampaikan mengenai kematian AM.

Inkonsistensi tersebut dirasakan keluarga AM saat mendapatkan kabar siswa kelas 5i di Pondok Gontor itu meninggal dunia pada Senin, 22 Agustus 2022, sekitar pukul 10.20 WIB saat berkegiatan Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum).

Dalam pernyataan resmi yang diterima keluarga berupa surat keterangan kematian dari Rumah Sakit Yasyfin Darussalam Gontor, Ponorogo, menerangkan bahwa AM meninggal dunia karena sakit.

Saat jenazah AM tiba di rumah duka di Palembang pada Selasa, 23 Agustus 2022, ibu korban memaksa untuk membuka peti jenazah dan melihat pada bagian tubuh anaknya itu seperti tidak dalam kondisi menunjukkan sakit yang dimaksud.

Hingga akhirnya Senin (5/9) kemarin pihak Gontor menyampaikan kepada publik pernyataan maaf dan mengakui ada dalam pengantaran jenazah tersebut tidak sesuai fakta, serta mengakui ada dugaan aksi kekerasan di lingkungan pesantren yang berdampak pada korban AM," kata Titis.

Menurut Titis, pihak keluarga sangat menyesalkan sikap inkonsistensi dari pihak Pondok Modern Darussalam Gontor karena sudah mengetahui peristiwa kekerasan tersebut, namun tidak menjelaskan kejadian sebenarnya kepada keluarga korban. Justru menerbitkan surat keterangan kematian pada 22 Agustus 2022 yang menyatakan santri AM meninggal dunia karena sakit.

Sementara itu, ibu korban AM, Soimah, berharap pihak keluarga mendapat kejelasan mengenai peristiwa dugaan penganiayaan yang dialami anaknya. Keluarga juga berharap kasus kekerasan terhadap santri tersebut menjadi yang terakhir dan jangan sampai terulang kembali di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.

"Cukup pada anak saya, jangan sampai terulang. Saya ingin dunia pendidikan jangan ada perbuatan (kekerasan) fisik. Terkait proses hukum, semua saya serahkan ke pengacara kami, kondisi saya masih syok," kata Soimah yang juga berprofesi sebagai wartawati di Kota Palembang.

Kontributor : Fitroh Nurikhsan

Load More