Perubahan bentang alam akibat letusan besar Gunung Merapi, menyebabkan sulitnya mencari lokasi pasti di mana tempat Atisa dulu sempat tinggal.
“Alam bergerak. Mungkin dulu sungai di sana, di sini, kita nggak tahu. Tapi hari ini, (pertemuan sungai Elo dan Progo) ada di depan mata kita ini,” kata Sony Santosa, pemilik Eloprogo Art House.
Pemandangan tempuran 2 sungai besar, Elo dan Progo dapat dilihat dari tebing sungai yang saat ini tanahnya menjadi milik Sony. Aliran Kali Elo yang bening bertemu dengan Kali Progo yang keruh.
Pertemuan dua aliran sungai diyakini memiliki kekuatan spiritual besar. Terlebih, hulu kedua sungai ini berasal dari gunung-gunung “kramat”: Sindoro, Merapi, dan Merbabu.
Mata air Kali Progo berada di puncak Gunung Sindoro. Sedangkan Elo merupakan hasil pertemuan beberapa sungai kecil yang jika dirunut ke hulu akan sampai ke lereng Merapi dan Merbabu.
“Atisa membawa pencerahan ke Tibet. Spirit di Tibet itu, spirit Mandala Borobudur. Konon dia selama 3 tahun di Borobudur waktunya banyak dihabiskan di pertemuan dua sungai. Itu sekitar 1000 tahun lalu,” ujar dia.
Pendapat bahwa ada kaitan antara ajaran Buddha di Tibet dengan Borobudur sungguh tidak berlebihan. Stupa Candi Borobudur diyakini terhubung garis geografis spiritual dengan Stupa Kumbum di Gyantse, Tibet.
Setiap Agustus dan Oktober, umat Buddha mengadakan peringatan kedatangan Atisa ke Nusantara. Pusat peringatan diadakan di Candi Muarajambi dan Borobudur.
Tempuran Elo dan Progo
Baca Juga: Perjalanan Spiritual Nita Gunawan, Diusir dari Rumah karena Pindah Agama
Menurut Sony, tidak hanya agama Buddha yang menjadikan tempuran sungai sebagai tempat istimewa untuk bermeditasi. Hampir semua ajaran spiritual meyakini bahwa titik pertemuan 2 sungai sebagai tempat yang sakral.
“Tempat ini umumnya tempat orang ritual. Macam-macam. Ini tempat kita mengakui kebesaran Tuhan. Tempat yang membuat kita setuju bahwa Tuhan itu ada,” kata Sony.
Sony mengaku banyak orang masuk melintasi lahannya untuk melakukan laku spiritual di tempuran Kali Elo dan Progo. Biasanya mereka yang datang melakukan ritual yang berhubungan dengan leluhur atau acara adat.
Kepala Dusun Bejen, Desa Wanurejo, Danang Suyanto mengatakan, biasanya orang datang ke tempuran Kali Elo dan Progo pada malam 1 Suro. Mereka melakukan tapa kungkum atau berendam di tempuran sungai.
“Beberapa orang yang mungkin tidak kuat membawa pusaka turun temurun, biasanya dilarung di sini. Malam 1 Suro masih ada orang yang menggunakannya untuk tapa berendam. Kungkum,” kata Danang.
Mereka yang akan melakukan ritual biasanya datang sendiri-sendiri. Sepengetahuan Danang mereka yang datang justru orang-orang dari jauh.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Borobudur Mawayang: Sujiwo Tejo dan Sindhunata Hidupkan Kisah Ambigu Sang Rahvana
-
5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
-
BRI Peduli Guyur Rp800 Juta, Wajah 4 Desa di Pemalang Kini Makin Ciamik
-
Ini Deretan Kesiapan Tol Semarang-Solo Sambut Lonjakan Pengguna Jalan Akhir Tahun
-
UMKM Malessa Tumbuh Pesat, Serap Tenaga Kerja dan Perluas Pasar