Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 21 Maret 2023 | 14:34 WIB
Kepala Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri Irjen Pol Marthinus Hukom saat gelaran Kuliah Umum Kebangsaan "Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme di Media Sosial" di Kampus Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Senin (20/3/2023). [Istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Berkembangnya media sosial (medsos) rupanya juga menjadi kesempatan para kelompok penebar teror atau teroris untuk melakukan propaganda dan merekrut para anggota. 

Hal itu diungkapkan Kepala Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri Irjen Pol Marthinus Hukom saat gelaran Kuliah Umum Kebangsaan "Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme di Media Sosial" di Kampus Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Senin (20/3/2023).

Tak disangka, kelompok teror memanfaatkan sistem algoritma yang ada di medsos untuk menyebarkan propagandanya sekaligus menentukan sasaran empuk merekrut anggota.

Untuk menangkalnya, tentu saja perlu menciptakan eco chamber alias ruang gema untuk menetralisir propaganda radikal teror di medsos.

Baca Juga: Belasan Pucuk Senjata Ditemukan di Rumah Dito Mahendra, Nikita Mirzani Senggol Badan Penanggulangan Teroris

Pada konteks ini, mahasiswa dianggap sebagai agen yang pas untuk membanjiri media sosial dengan konten-konten positif sebagai kontra narasi radikalisme terorisme. Ini sebagai cara untuk merawat kebinekaan yang ada di Indonesia, agar bangsa dan negara ini tetap kuat dan utuh.

"Ini adalah cerdasnya ISIS memanfaatkan medsos, terutama Facebook dan Twitter dipakai untuk merekrut target-target yang rentan. Medsos adalah ‘alat perang’ di era kemajuan informasi teknologi, jangan sampai kita bisa hindari perang tradisional, tetapi perang medsos tidak bisa kita hindari," ungkap Kadensus di depan ribuan mahasiswa yang hadir.

Lebih lanjut, sebutnya, Indonesia hadir dalam bentuk keberagamaan dan datang dari berbagai perbedaan. Dia menilai, para pendiri bangsa ini bahkan memberikan landasan filosofi, yang menjadikan negara Indonesia tetap utuh.

"Sebetulnya radikalisme itu ada dalam agama apapun, tidak hanya terkait dengan satu agama tertentu," sambungnya pada acara yang terselenggara atas kerjasama pihak Densus 88 Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) dan Kampus SCU ini.

Menurutnya, terorisme bukan monopoli satu aliran tertentu. Paham teroris bisa muncul dalam banyak aliran atau agama. Bahkan, bisa menimpa kepada individu yang tidak beragama sekalipun.

Baca Juga: Turki Setujui Keanggotan Finlandia di NATO, Ini Alasan Erdogan

Kegiatan itu Marthinus Hukom juga didampingi para jenderal di Densus 88, yakni Direktur Penindakan Brigjen Pol Suseno Nurhandoko, Direktur Identifikasi Sosialiasi (Idensos) Brigjen Pol Arif Makhfudiharto dan Direktur Pencegahan Brigjen Pol Tubagus Ami Prindani. Tim dari Satuan Tugas Wilayah (Satgaswil) Jawa Tengah Densus 88 juga hadir dipimpin Kanit Idensos AKBP Bambang Prasetyanto.

Rektor SCU, Dr Ferdinandus Hindiarto menyatakan, kampusnya senantiasa mengajarkan nilai-nilai keindonesiaan. Adapun terkait toleransi, pihaknya sudah selesai dengan hal tersebut.

"Implementasi dari nilai-nilai toleransi sudah sepenuhnya dijalankan oleh seluruh civitas akademika. Kami menggembleng generasi muda
yang menguasai ilmu pengetahuan di bidangnya dengan kedewasaan moral dan kepribadian. Sehingga akan berani mengambil peran pemimpin di manapun mereka berkarya," kata Rektor yang turut hadir jadi pembicara.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jateng, Sumarno menegaskan, perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Sedang radikalisme merupakan bahaya laten yang tidak kelihatan, yang harus diwaspadai kapanpun.

Aksi Kelompok JI dan JAD

Pada kegiatan itu, hadir pula dua narasumber lainnya dari mantan narapidana terorisme (napiter), yakni Hadi Masykur dan Munir Kartono. Hadi Masykur berangkat dari kelompok Neo Jamaah Islamiyah (JI) sementara Munir dari kelompok JAD.

Hadi Masykur menceritakan, dirinya aktif di organisasi lamanya selama 20 tahun, sebelum akhirnya ditangkap oleh tim Densus 88/Antiteror Polri. Selama itu pula, ia mengaku tidak memiliki waktu berkumpul dengan keluarganya.

Pikirannya menjadi terbuka ketika disadarkan melalui pesan dari sang ibu. Pendekatan dari ibunya membuat ia sadar akan langkah dan cara pandangnya selama ini tidaklah benar.

"Saya berpesan pada mahasiswa untuk memberikan ruang toleransi diri kita atas apa yang dilakukan orang lain, sehingga tidak muncul anggapan diri kita yang paling benar, yang lain salah," katanya.

Sementara, Munir Kartono mengemukakan seorang teroris tidak bisa dilihat hanya dari ciri-ciri fisik yang terlihat, seperti gaya rambut hingga cara berpakaian.

"Ada konsep dan cara berpikir yang salah dalam kepalanya," ungkap Munir yang ketika acara juga didukung pemutaran film dokumenter kisahnya berjudul "Dari Kecewa pada Bapak jadi Pendana ISIS" karya Kreasi Prasasti Perdamaian itu.

Munir terlibat pendanaan ISIS, orang dekat dengan pentolan ISIS Bahrunnaim hingga memanfaatkan internet dan media sosial untuk menggalang pendanaan. Salah satu keterlibatannya, menyiapkan pendanaan bagi pengeboman di Mapolresta Surakarta Juli 2016 silam.

Load More