Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Selasa, 25 April 2023 | 14:02 WIB
Polresta Magelang menyita 552 kilogram bahan pembuat petasan. [Dok. Polresta Magelang]

Sebagai tradisi, petasan berkembang menjadi sarana mengekspresikan diri. Biasanya berkaitan dengan cara masyarakat meluapkan rasa senang, gembira, atau kemenangan.

Tidak aneh jika kemudian tradisi petasan lekat dengan perayaan Lebaran. “Utamanya saat (perkembangan) Islam mulai kuat di Nusantara.”

Petasan dan Candu Adrenalin

Bagi penderita fonopobia (sindrom takut terhadap suara keras), ledakan petasan bisa menimbulkan dampak yang parah. Penderita didera ketakutan, kepanikan, dan kecemasan ekstrem.  

Baca Juga: Mengerikannya Dampak Ancaman Peneliti BRIN Sebut Hahal Darah Warga Muhammadiyah, Reza Indragiri: Merekrut Calon Pelaku

Tapi bagi penggemar petasan, suara ledakan yang memekakkan telinga justru menimbulkan sensasi kegembiraan bak candu.

Secara alamiah manusia mengalami banjir hormon adrenalin usai terkejut mendengar suara ledakan. Reaksi spontannya, otak mengirim sinyal bahaya yang meningkatkan kewaspadaan tubuh atau lari menjauh sumber bunyi.

Saat letusan adrenalin di otak mereda, syaraf mengirim sinyal relaksasi ke seluruh bagian tubuh. Efeknya, muncul rasa puas dan kegembiraan.

“Tradisi orang Jawa itu marem kalau krungu (dengar) suara keras. Memang sudah dari sananya begitu. Bisa dilihat saat orang hajatan. Kenapa kita pasang speaker keras-keras,” ujar Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) Kabupaten Magelang, Abet Nugroho.

Karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun, tradisi menyulut petasan saat Lebaran tidak mudah begitu saja dihilangkan. Butuh proses panjang mengenalkan alternatif bunyian lain pengganti suara petasan.     

Baca Juga: H+3 Lebaran, 42 Ribu Pemilir Tiba Di Jakarta

Abet menawarkan bedug dan kentongan menjadi sumber suara keras pengganti petasan.

Load More