Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Selasa, 25 April 2023 | 14:02 WIB
Polresta Magelang menyita 552 kilogram bahan pembuat petasan. [Dok. Polresta Magelang]

Masyarakat Islam Nusantara sudah sejak lama mengenal bedug dan kentongan. Kedua instrumen bunyi ini pernah menjadi alat komunikasi antar warga.

“Alat musik ini dipakai oleh para wali menjadi bukan hanya perangkat ibadah, tapi juga metode siar keagamaan yang indah. Musikal dan punya makna tertentu.”

Suara bedug dan kentongan bisa menjadi alat ekspresi khas masyarakat Nusantara, menggantikan suara ledakan petasan yang mengganggu.

Sayang kata Abet, di banyak masjid dan mushola saat ini bedug dan kentongan sudah tidak pernah dibunyikan. Remaja dan anak-anak tidak lagi diizinkan menabuh bedung dan kentongan di masjid.

Baca Juga: Mengerikannya Dampak Ancaman Peneliti BRIN Sebut Hahal Darah Warga Muhammadiyah, Reza Indragiri: Merekrut Calon Pelaku

“Seharusnya dibolehkan. Letak kentongan dan bedug itu bukan di dalam masjid tapi di teras. Ini adalah perangkat budaya. Sehingga anak muda yang semula ngumpul tidak jelas membakar petasan, tertarik kembali ke masjid.”

Menjinakkan Tradisi Mercon

Lebih jauh lagi, Sekretaris Dewan Kesenian Kota Magelang, Danu Wiratmoko menyebut larangan membakar petasan harus dibarengi langkah lainnya.

Melarang warga membuat petasan tanpa mengawasi distribusi potasium nitrat, sulfur, dan serbuk alumunium, bagai upaya memukul angin.

Bahan-bahan ini termasuk produk legal yang boleh diperjual belikan serta mudah ditemui di pasaran.

Baca Juga: H+3 Lebaran, 42 Ribu Pemilir Tiba Di Jakarta

Potasium dipakai sebagai bahan pokok industri cat atau bahan pewarna. Bahan ini mudah meledak jika terkena gesekan atau panas.

Load More