Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 15 Juni 2023 | 08:31 WIB
Ilustrasi penganiayaan (Shutterstock).

SuaraJawaTengah.id - Orang tua mana yang tak terluka melihat anaknya jadi korban penganiyaan. Yoka nangis sejadi-jadinya setelah mengetahui anaknya (MGG) sering dipukuli saat mengenyam pendidikan di Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang.

Kekhawatiran Yoka akan tindak kekerasan di sekolah kedinasan benar-benar terjadi. Awalnya Yoka tidak merestui pilihan anaknya bersekolah di PIP Semarang.

"Anak saya masuk PIP bulan Juli 2022. Saya nangis sejadi-jadinya setelah anak saya cerita jadi korban penganiyaan. Bukan kekerasan lagi," ucap Yoka pada SuaraJawaTengah.id, Rabu (14/6/2023).

Menurut Yoka, pihak PIP ingkar janji ketika pertemuan dengan orang tua siswa. Mereka bahkan sampai meyakinkan kalau lingkungan PIP tidak ada segala macam bentuk kekerasan.

Baca Juga: Pilu! Remaja di Jaksel Diduga Dianiaya dan Disekap usai Tabrakan dengan Keluarga Perwira Polisi

"Selama masa orientasi anak saya tidak diperbolehkan komunikasi sama sekali. Tapi ketika anak saya sembunyi-sembunyi mengirimkan pesan. Dia minta pihak sekolah untuk mengeluarkan dia dari tim dekor," ujar Yoka.

"Apa itu tim dekor? Saya pun heran. Akhirnya setelah anak saya cerita, terbongkar semua. Anak saya jadi korban penganyiaan. Anak saya sampai minta tolong untuk diselamatkan," terangnya lagi.

Berdasarkan penuturan Yoka dari anaknya, tim dekor bukan bertugas mendekorasi setiap kegitan sekolah. Melainkan seperti preman sekolah atau istilah lainnya dewan eksekutor.

Kebetulan berawakan MGG tinggi dan besar. Lalu dia terpilih menjadi bagian tim dekor. Diakui Yoka, anaknya tidak ingin masuk tim dekor.

Sebab di tim dekor, anaknya bakal dilatih dengan cara dipukuli supaya kuat selama empat tahun. Lalu setelah itu, dia yang akan menurunkan tradisi tersebut pada juniornya.

Baca Juga: Dieksekusi ke LPAK Tangerang, Agnes Gracia Bakal Tidur Bareng 2 Tahanan Lain: Tak Ada Perlakuan Khusus!

"Anak saya berani cerita ke saya, karena dia teringat kalau orang tua melahirkan sampai dibesarkan tanpa cacat. Jadi sewaktu-waktu anak saya cacat atau meninggal. Saya sudah tau dengan kondisi yang sebenarnya," bebernya sambil menahan rasa sedih.

Tak terima anaknya jadi korban penganiyaan. Yoka beserta suaminya lantas mendatangi PIP Semarang untuk mengadukan apa yang dialami anaknya.

"Kami memaafkan para pelaku. Tapi tolong ada perbaikan sistem secara radikal. Lalu hak asasi manusia MGG bisa mengikuti pendidikan dengan selamat, aman dan nyaman sampai lulus," pinta Yoka.

Tidak Bisa Ditolerir

LBH Semarang, Ignatius Radit, yang menjadi kuasa hukum MGG menerangkan kalau korban setidaknya mendapat tindakan kekerasan atau pun penganiyaan sebanyak empat kali dari senior angkatan maupun pembina taruna.

"Kejadian pertama, wajah korban dipukuli bertubi-tubi dari arah kanan, kiri, atas, bawah oleh pembina taruna tanggal 9 Oktober 2022," ucap lelaki yang biasa disapa Radit.

"Lalu yang kedua kepala bagian belakang korban dipukul sebanyak sepuluh kali oleh seniornya menggunakan sarung tangan tinju," lanjutnya.

Radit kemudian melanjutkan pada tanggal 2 November 2022. MGG kembali jadi korban penganiyaan. Menurutnya kejadian ketiga paling parah lantaran MGG dipukul sebanyak 40 kali dibagian perut.

"Akibatnya waktu itu korban kencing darah, hulu hatinya sakti, sampai ada luka dalam. MGG gampang sakit perut," papar Radit.

Selama dipercaya menangani kasus MGG. Radit telah melaporkan kejadian tersebut pada empat lembaga sekaligus. Diantaranya Polda Jateng, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDM) Kemenhub, Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK) dan Menteri Perhubungan.

"Ada doktrin bahwa kekerasan disana untuk memupuk mental. Tidak boleh lapor-lapor. Kalau ada yang lapor, ada yang kena sanksi fisik, lalu dihujat dengan sebutan banci dan semacannya," katanya.

Radit juga sempat kecewa dengan janji Kepala BPSDM yang bakal memberi jaminan serta memindahkan MGG ke Sekolah Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta.

Tujuan hal tersebut tidak lain untuk lebih memudahkan pengawasan orang tua. Karena kebetulan MGG berdomisili di Jakarta.

"Mereka ingkar. Bukannya menindaklanjuti janji. Malah mereka meminta korban untuk kembali ke asrama. Saat korban saya tarik dan cuti di rumah bulan November lalu," tuturnya.

"Karena terpaksa ada ancaman hak pendidikan korban dicabut. Korban akhirnya kembali di bulan Mei lalu. Tapi bukannya ada perbaikan. Korban malah disalahkan dan diintimidasi oleh teman angkatan, senior, staf dan pengajar disana," lanjut Radit.

Radit kembali geleng-geleng kepala, ketika MGG dapat perlakuan tidak mengenakan lagi. Dalam pengakuannya, pada hari Selasa (13/6) malam, MGG mendapat tendangan bagian kaki ketika mengikuti seleksi marching band.

"Selama menangani kasus MGG seperti tidak ada perubahan berarti dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Semua sekolah kedinasan mending pindahkan saja tanggungjawabnya ke Kemendikbud," tutup Radit penuh dengan kekecewaan.

Kontributor: Ikhsan

Load More