Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Kamis, 23 November 2023 | 19:00 WIB
Pangeran Mangkubumi yang akhirnya menjadi Sultan Hamengkubuwono I. [Wikipedia]

SuaraJawaTengah.id - Pangeran Mangkubumi yang akhirnya menjadi Sultan Hamengkubuwono I sebagai pemimpin pertama Kesultanan Ngayogyakarta tak pernah lagi melakukan penyamaran setelah diangkat sebagai raja.

Namun, dalam suatu kisah, Hamengkubuwono I pernah kembali menyamar sebagai seorang rakyat karena ditolak oleh seorang kiai.

Hal itu dilakukan oleh Hamengkubuwono I untuk melancarkan misinya demi kelangsungan Kasultanan Yogyakarta. Berikut ini adalah kisah penyamaran Hamengkubuwono I di awal masa pemerintahannya.

Siapa Kiai yang Menolak Hamengkubuwono I?

Baca Juga: Menguak Perjanjian Mataram Antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring yang Diakhiri Hamengkubuwono X

Pangeran Mangkubumi merupakan putra raja ke-13 raja Mataram Islam, yakni Amangkurat IV yang kerajaannya ada di Kartasura. Sejak masa remaja, ia dikenal sangat senang belajar ilmu kebatinan dan ajaran agama Islam.

Bahkan, ia acap kali meninggalkan keraton untuk hidup bersama dengan masyarakat biasa. Tak sampai di situ, beberapa kali ia akan menyamar dan hidup bersama para petani dan seorang belantik, yakni penjual hewan di pasar Klaten.

Sebenarnya, Amangkurat IV menilai Mangkubumi lebih cakap dalam memimpin kerajaan. Namun, karena ia adalah putra dari selir, tahta kerajaan kemudian jatuh ke tangan Pakubuwono II. Pada masa pemerintahan Pakubuwono II ini, Mangkubumi memberontak karena kakaknya dinilai terlalu mengakomodasi kepentingan Belanda.

Pemberontakan tersebut kemudian berakhir dengan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 ketika Keraton Surakarta sudah dipimpin Pakubuwono III.

Dari perjanjian itu, Mangkubumi mendapat bagian di sebelah barat dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta dan mendapat gelar Hamengkubuwono I.

Baca Juga: Asal-Usul Pusaka Tombak Baru Klinting Milik Ki Ageng Mangir Wonoboyo, Pemberontak Mataram Islam

Karena sangat senang dengan agama, ia juga ingin menegakkan ajaran-ajaran Islam dalam Kesultanan Yogyakarta. Maka, Hamengkubuwono bermaksud untuk memperdalam ilmunya dengan seorang kiai yang tinggal di daerah Pleret, Bantul, Yogyakarta, yakni Kiai Muhammad Faqih.

Namun, di luar dugaan, Kiai Muhammad Faqih keberatan dan menolak Hamengkubuwono I belajar dengannya.

Tak kurang akal, ia kembali pada Kiai Faqih dengan melakukan penyamaran. Ia mengaku sebagai utusan Sultan Hamengkubuwono I untuk berguru.

Karena sangat rapi, penyamaran tersebut tak pernah diketahui oleh Kiai Muhammad Faqih. Dalam kesempatan tersebut, Hamengkubuwono I tak kurang-kurang meminta nasihat perihal tatanan kerajaan yang baik.

Salah satu nasihat Kiai Muhammad Faqih adalah Sultan harus mengangkat patok atau orang yang mampu menuntun akhlak rakyat. Setelah merasa cukup, Hamengkubuwono berpamitan untuk kembali ke keraton.

Berdirinya Masjid Wonokromo Bantul

Sepulangnya dari nyantri pada Kiai Muhammad Faqih, Hamengkubuwono I mengundang mertuanya, Ki Derpo Yudho dari Laweyan, Solo, dan Kiai Muhammad Faqih ke istana untuk salat Jumat bersama dan melakukan pertemuan.

Pertemuan tersebut kemudian membuka tabir. Ki Derpo Yudho menjelaskan bahwa Kiai Muhammad Faqih ternyata juga menantunya. Ia menikahi putri sulung Ki Derpo Yudho. Artinya, Kiai Muhammad Faqih adalah kakak ipar Hamengkubuwono I.

Karena hal itu, Hamengkubuwono semakin hormat dan sayang kepada Kiai Muhammad Faqih. Nasihat Kiai Muhammad Faqih tempo hari kemudian diwujudkan oleh Hamengkubuwono dengan mengangkat patok-patok di berbagai wilayah kekuasaannya.

Setiap patok tersebut harus memiliki sebuah masjid yang kerap kali disebut Masjid Pathok Negoro. Sementara itu, Kiai Muhammad Faqih diberikan tanah perdikan di selatan desanya, Ketonggo, yakni berupa alas awar-awar.

Di situlah Kiai Muhammad Faqih kemudian mendirikan masjid yang diberi nama Wa Ana Karomah oleh Hamengkubuwono I dengan maksud agar selalu diliputi karomah. Namun, seiring berjalannya waktu, warga menyebutnya dengan Wonokromo, yang berada di kawasan Pleret Bantul.

Kontributor : Dinnatul Lailiyah

Load More