Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 07 Februari 2024 | 17:30 WIB
Sivitas akademika Universitas Negeri Semarang (Unnes) turut menyerukan kegelisahan terkait kondisi demokrasi pada Rabu (7/2/2024). [Suara.com/Ikhsan]

SuaraJawaTengah.id - Beberapa hari belakangan ini sejumlah sivitas akademika dari seluruh Perguruan Tinggi tanah air silih berganti menyuarakan dinamika politik nasional dan demokrasi menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024.

Perguruan Tinggi di Kota Semarang yakni Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) turut menyatakan sikap pada hari Rabu (7/2/24). Petisi kedua PTN tersebut bahkan isinya kurang lebih hampir sama, menyoroti perihal pelanggaran etika dan kondisi demokrasi yang kian menurun di pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Namun sebelum kedua PTN ternama itu menyerukan kegelisahan terhadap demokrasi. Sejumlah rektor Perguruan Tinggi di Jawa Tengah termasuk Kota Semarang justru mengeluarkan statement bertolak belakang dengan suara-suara yang digelorakan sivitas akademika lainnya.

Rektor Universitas Ma'arif Nadhlatul Ulama (NU) Kebumen, Imam Satibi membeberkan pernyataan-pernyataan yang disampaikan sivitas akademika bukan sebuah gerakan moral.

Baca Juga: Akademisi Soroti Debat Capres Terakhir: Terlihat Menahan Diri, Takut Blunder

"Inilah yang perlu dijaga jangan sampai kita mudah melakukan pernyataan-pernyataan politik mengatasnamakan kampus, komunitas tertentu yang sebetulnya itu bagian dari narasi politik," ucapnya.

Beberapa rektor lainnya seperti Undip, Universitas Jenderal Soedirman, UIN Walisongo, Undaris dan lain-lainnya menyampaikan pernyataan serupa. Bahkan mereka juga sampai memuji kinerja pemerintahan Presiden Jokowi.

"Presiden Jokowi banyak berjasa bagi Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia melakukan lompatan kemajuan dan berhasil melewati masa-masa sulit pandemi Covid-19," tutur Rektor Undaris Hono Sejati.

Usut punya usut, narasi-narasi baik yang disampaikan para rektor tersebut atas perintah Polda Jawa Tengah. Hal itu diungkap oleh Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Kota Semarang, Ferdinandus Hindarto.

"Ya, saya di whatsAap orang yang ngaku polisi atas intruksi Polda Jateng. Minta saya bikin video, satu mengapresiasi kinerja Jokowi, dua bahwa pemilu ini mencari penerus Jokowi dan yang ketiga saya lupa," kata lelaki yang akrab disapa Ferdi tersebut.

Baca Juga: Pileg DPR RI Dapil Jateng 1: Potensi Muncul Pendatang Baru yang Mengejutkan

Meski beberapa kali dihubungi dan ditagih untuk segera mengirimkan video. Ferdi punya prinsip tegas, dia menolak sebagai bentuk integritasnya menjaga marwah demokrasi.

"Panduan kami ada kok bahwa Universitas Katolik harus menyuarakan kebenaran. Jadi bukan mendukung salah satu paslon, tapi untuk menyuarakan kebenaran," tegasnya.

Tidak Diarahkan Salah Satu Paslon

Polda Jawa Tengah melalui Kabid Humas, Kombes Satake Bayu mengatakan gerakan bikin video tersebut tidak dimaksudkan untuk mendukung salah satu paslon. Dia menjamin bersifat netral di pemilu 2024.

Lebih lanjut, Satake memaparkan gerakan itu hanya sebatas colling system menjelang pesta demokrasi 2024.

"Kita minta tokoh masyarakat memberikan imbauan agar pemilu berjalan damai. Intinya pesan itu untuk colling system," paparnya.

Satake lantas berpesan agar masyarakat menjaga kondusifitas pemilu 2024. Hal tersebut juga membantu memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

"Sesuai dengan harapan forum rektor. Kami tegaskan Polri tetap netral dalam melaksanakan tugas Pemilu 2024," katanya.

Pelanggaran Etika Jadi Perhatian

Disisi lain seorang Guru Besar Undip, Suradi Wijaya Saputra menyoroti sejumlah pelanggaran etika yang dilakukan lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena meloloskan Gibran Rakabuming jadi calon wakil presiden (cawapres).

Suradi mengingatkan pemerintah untuk tidak memberi contoh yang buruk pada generasi mendatang. Dia menegaskan suara-suara dari sivitas akademika tidak ada kaitannya dengan salah satu paslon tertentu.

"Etika yang kita junjung runtuh seketika, maka hal demikian jangan dibudidayakan. Terserah hati nurani dan pikiran kita dalam menilai," terangnya.

Dijelaskan Suradi, sivitas akademika merupakan benteng terakhir penjaga demokrasi. Jadi wajar jika banyak guru-guru besar turun gunung menyuarakan keresahannya.

"Kami tidak punya kepentingan selain kepentingan nilai, moral dan etika harus dijunjung tinggi," imbuh Suradi.

Setali tiga uang, Guru Besar Unnes, Issi Yuliasri menyebut kondisi demokrasi di akhir masa pimpinan Presiden Jokowi semakin menurun. Segala cara dipakai untuk mempertahankan kekuasaan.

"Demokrasi Indonesia saat ini terancam oleh belokan otoritarianisme baru atas nama hukum. Cita-cita demokrasi untuk menciptakan negara demokratis, kebebasan berekpresi dan supremasi hukum tergerus oleh perilaku kekuasaan oligarki," katanya.

Kondisi tersebut kemudian semakin diperparah dengan lunturnya keteladanan Presiden Jokowi yang alih-alih bersikap netral di gelaran pemilu 2024. Malah menunjukkan gestur-gestur berpihak.

"Penyelenggara negara semakin terbiasa mengeksploitasi simbol-simbol populisme guna mendapatkan legitimasi publik sesaat, yang sejatinya mengaburkan hakikat demokrasi," tutur Issi.

Sementara itu, Rektor Universitas Semarang (USM) Supari mengatakan kekecewaan sivitas akademika terhadap kondisi demokrasi merupakan bentuk kepedulian. Walaupun ada pandangan-pandangan berbeda, hal tersebut bagian dari demokrasi.

"Perbedaan persepsi ini biasa dalam keberagaman. Kalau pun perlu untuk dikomunikasikan, baiknya tetap dalam suasana kekeluargaan," jelasnya.

Supari mengutarakan tujuan dari pemilu untuk menghasilkan pemimpin yang terbaik. Semua pihak harus berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Mohon agar perbedaan ini tidak sampai mempertaruhkan persatuan, kedamaian,  apalagi mempertaruhkan keamanan dan kerukunan kita sesama saudara sebangsa dan setanah air," tandasnya.

Kontributor : Ikhsan

Load More