Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 07 Maret 2024 | 18:34 WIB
Ilustrasi tradisi dugderan. Sejumlah anak mengikuti Karnaval Budaya Dugderan untuk menyambut datangnya bulan Ramadan, di Semarang. [Dokumen]

SuaraJawaTengah.id - Menjelang bulan ramadan ada sebuah tradisi unik yang rutin dilakukan di Kota Semarang. Tradisi itu kemudian dikenal dengan sebutan "Dugderan".

Istilah Dugderan diambil dari beberapa kosa kata 'dug' (bunyi bedug yang ditabuh) dan 'der' (bunyi tembakan meriam). Dua bunyi itu jadi simbol pertanda datangnya bulan ramadan.

Mengutip catatan dari Kementrian Pendidikan dan Budaya (Kemendibud), tradisi dugderan diprakarsai oleh Bupati Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat sekitar medio 1862-1881.

Kemunculan tradisi ini dilatarbelakangi perbedaan pendapat di masyarakat ihwal penentuan kapan dimulainya puasa di bulan suci ramadan.

Baca Juga: Polisi Buka Segel Ilegal Oknum Driver di Kantor Grab dan Maxim Semarang, Ini Kronologinya

Jadi untuk menyamakan persepsi tersebut diadakan sebuah upaca dengan menabuh bedug di halaman Masjid Agung Kauman sebanyak 17 kali dan membunyikkan meriam di halaman Kabupaten Semarang sebanyak 7 kali.

Perpaduan dua bunyi tersebut membuat tradisi ini dinamakan "dugderan". Seiring berjalannya waktu tradisi itu kian berkembang dengan perayaan-perayaan yang lebih meriah.

Pemerhati Sejarah Semarang, Johanes Christiono tau persis perkembangan tradisi dugderan dari masa ke masa.

Dulu esensi dugderan hanya sebatas penabuhan bedug dan meriam. Tapi sekarang perayaannya semakin meriah dengan adanya arak-arakkan dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Kauman.

"Dulu tahun 80an di halaman Masjid Agung Kauman menyalakan bom udara. Bom itu diledakkan dalam radius lima kilometer," kata Johanes saat dihubungi Suara.com, Kamis (7/3/2024).

Baca Juga: Perjalanan Bukit 'Brown Canyon Semarang' dari Wisata Instagramable Kini Jadi Kolam Renang

Seiring dibangunnya menara Masjid Agung Kauman. Pemakaian bom udara untuk memeriahkan tradisi dugderan pun dihentikan.

"Ya, pemakain bom udara waktu itu harus seizin pangdam atau militer," terangnya.

Setelah hilangnya pemakaian bom udara, Warak Ngendhog lalu dimunculkan untuk dijadikan simbol tradisi dugderan.

Warak Ngedhog sendiri bukan binatang sungguhan. Dia adalah binatang mitos yang melambangkan akulturasi budaya di Kota Semarang yang meliput Jawa, Arab dan China.

"Warak Ngedhog itu diciptakan tahun 80an lewat sayembara," ungkap mantan wartawan Suara Merdeka tersebut.

Selain itu, ada penambahan roti ganjel rel yang turut dihadirkan di tradisi dugderan. Biasanya roti ganjel rel akan dibagikan ke masyarakat setelah penabuhan bedug.

Kontributor : Ikhsan

Load More