Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 28 Maret 2024 | 15:18 WIB
Suasana Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah yang Damai meski warganya berbeda keyakinan. (Suara.com / Citra Ningsih)

SuaraJawaTengah.id - Kabut mulai turun kala matahari bergeser ke arah barat. Udara sejuk kembali menyelimuti desa setelah berjemur sinar matahari seharian. Seakan saling melengkapi keberagaman beragama.

Sayup-sayup suara tadarus dari pengeras Masjid mulai terdengar saling bersahutan, tepat ketika para jamaah sholat ashar hendak pulang.

Keindahan Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo bukan hanya karena panorama pegunungan yang menawan, tapi kerukunan warga meski berbeda keyakinan.

Terdapat 4 agama di Desa yang terletak di ketinggian 1300 mdpl ini, diantaranya adalah Islam, Katolik, Kristen, dan Budha. Dari empat agama tersebut, tiga diantaranya memiliki tempat ibadah yang berjarak 80 meter sampai 100 meter saja.

Baca Juga: Pakai Pola di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo Bakal Anggarkan Rp4 Triliun untuk Insentif Guru Agama se-Indonesia

Kerukunan warga Desa Buntu dalam beragama menggambarkan nilai kesatuan. Pasalnya, tidak hanya sebatas toleransi, namun para warga sampai sudi untuk saling membantu ketika salah satu agama sedang mempunyai hajat.

"Seperti selama bulan puasa ini. Karena jalan utama desa cuma satu, jadi kalau umat muslim sedang salat tarawih itu jalannya ditutup agar tidak ada kendaraan melintas. Selama tarawih berlangsung, yang lain (umat selain muslim) yang jaga portalnya biar salatnya bisa khusuk,"ungkap Tuwarno, Ketua Stasi umat Katolik Desa Buntu.

Aksi tersebut juga dilakukan ketika perayaan paskah atau natal. Ia menyebut, umat islam dan Budha membantu mempersiapkan keperluan di luar gereja.

"Jadi ketika kami beribadat di dalam gereja, teman Muslim dan Budha menyiapkan segala sesuatunya di luar seperti konsumsi dan keperluan lainnya. Karena memang banyak yang disiapkan dan kami biasanya juga mengundang beberapa tokoh dari agama lain," jelasnya.

Kondisi serupa juga diungkapkan oleh umat Buddha Desa Buntu Sriah. Ia menyebut, kerukunan warga desa tidak hanya dalam beragama, namun juga dalam kehidupan bermasyarakat.

Baca Juga: Viral Puisi Gus Yaqut di Acara Perayaan Natal, Publik Sebut Menteri Agama Terbaik Sepanjang Masa

"Kalau di sini memang saling menjaga dan membantu ketika ada perayaan hari besar atau ada ibadah dari agama lain. Tapi juga dalam bermasyarakat, warga sini suka gotong royong. Misal ada orang sakit atau meninggal itu datang semua dan membantu keperluannya tanpa memandang agamanya apa," ungkap Sriah.

Kerukunan antar umat dalam bermasyarakat di Desa Buntu sudah terbentuk sejak dulu. "Belum pernah terjadi masalah tentang perbedaan agama. Alhamdulillah semua rukun dan saling membantu," jelas Suwoto, Kepala Desa Buntu.

Keterlibatan antar umat juga terjadi ketika pembangunan Mushola. Ia menyebut, umat agama lain turut membantu dalam pengerjaan.

"Belum lama ini ada pembangunan Mushola. Tidak hanya umat Muslim saja, warga lain yang beda agama juga ikut datang membantu tanpa ada yang meminta atau menyuruh," ungkapnya.

Toleransi antar umat juga terwujud ketika salah satu pemeluk agama sedang beribadah maka umat yang lain akan menjaga.

"Saling menjaga ketika sedang ada yang ibadah di rumah ibadah masing-masing. Hanya saja di Desa Buntu belum ada rumah ibadah untuk umat Kristen sehingga ibadahnya ke luar desa. Itupun hubungan antar warga tetap baik," terangnya.

Menurutnya, toleransi yang terwujud di desa tumbuh dari lingkup terkecil. Di Desa Buntu, terdapat satu keluarga yang tiap anggotanya berbeda keyakinan.

"Di sini ada beberapa warga yang berbeda agama hidup dalam satu rumah. Ada suaminya yang merupakan tokoh Buddha, istrinya Muslim sementara mertuanya Katolik. Itu kalau waktu sahur, anggota keluarga ikut bangun dan menemani," tambahnya.

Kontributor : Citra Ningsih

Load More