Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 19 Maret 2024 | 15:07 WIB
Masjid Al-Hikmah adalah salah satu tempat ibadah umat muslim di Desa Kaliputih. (Suara.com / Citra Ningsih)

SuaraJawaTengah.id - Kisah Masyarakat Desa Kaliputih, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang rukun meski berbeda agama. 

Tenang dan damai, menjadi kata yang cocok untuk desa yang masih sangat asri ini. Kaliputih terdiri dari 4 dusun yaitu Kaliputih, Jlegong, Diwek dan Banjaran. 

Penduduk Desa Kaliputih diketahui memiliki tiga kepercayaan berbeda beda yaitu Islam, Nasrani, dan Budha. 

“Assalamualaikum, eh maaf, permisi. Leres niki daleme pak Isrodin nggih? (Apakah betul ini rumahnya pak Isrodin ya ?),” ucap saya ketika berkunjung tokoh agama Budha pada Senin (18/3/2024). 

Baca Juga: Tua Tua Keladi, Guru Ngaji di Wonosobo Cabuli Anak Tetangga yang Masih Dibawah Umur

“Waalaikumsalam, mboten nopo - nopo, nggih leres monggo pinarak, (tidak apa -apa, iya betul silahkan masuk)” jawab Isrodin didampingi istri mempersilahkan saya masuk.

Rumah Isrodin saling berdekatan dengan Vihara dan rumah warga lainnya. Ketika masuk, tampak foto keluarga dan berbagai kegiatan keagamaan terpajang di dinding. 

“Duh, ngapunten niki dados kapiran nggih (Duh, maaf ya ini jadi tidak disuguhi minuman),” kata istri Isrodin merasa tidak enak karena paham jika saya sedang berpuasa. 

Sebagai pemeluk agama yang minoritas di desanya, keluarga Isrodin tampak sangat toleransi dan tidak pernah mengalami konflik.

“Tidak pernah (konflik). Saling memahami, disini sama sekali tidak masalah soal agama. Agama hanya soal pakaian. Perihal bermasyarakat tetep guyup (rukun),” ungkap Isrodin. 

Baca Juga: Indahnya Keberagaman di Rasa Dharma Semarang: Berbagi Makanan Tanpa Pandang Agama

Ia juga mengaku tak masalah ataupun merasa terganggu dengan kegiatan selama bulan Ramadhan seperti tarawih dan tadarus menggunakan speaker saat malam hari. 

“Bahkan, kalau hari raya Idul Fitri itu kami ikut ke Masjid menemui Pak Aminudin. Kemudian ikut umat muslim melakukan acara halal bi halal sama semua warga masyarakat. Umat nasrani pun juga begitu, semua,” tuturnya. 

Ia sekeluarga tak pernah terusik atau diusik selama tinggal di Desa Kaliputih. Sebelumnya, Isrodin hanya menganut kepercayaan sampai akhirnya memeluk agama Budha. 

“Sekitar tahun 1985, kami hanya menganut kepercayaan. Tapi kemudian mengalami masalah ketika akan menikah karens kolom agama pada KTP kami kosong. Kemudian suatu ketika ada umat Budha dari Wonosobo datang dan memberitahu agama Budha. Setelah dipelajari, ternyata ajaran dan segala bacaan kami sama. Sejak saat itu kami putuskan beragama Budha,” paparnya. 

Kemudian pada tahun 2010, Vihara Budhi Surya yang berada dekat dengan rumah Isrodin didirikan. 

Adzan ashar berkumandang. Saya putuskan pamit dengan keluarga Isrodin lalu menuju ke Masjid untuk sholat. 

Jarak Masjid dengan Vihara tidak jauh. Vihara berada di dalam gang, sementara Masjid berada di tepi jalan. 

Usai sholat, saya menemui tokoh agama dari agama Islam yang rumahnya berada di samping Masjid Al Hikmah. 

“Kami disini saling menghormati. Bahkan, saya sering diundang jadi pembicara di gereja. Pak Paulus sama Pak Isrodin juga sering berkunjung, saling berkunjung,” kata Aminudin, tokoh sekaligus pengajar di Masjid. 

Aminudin kerap diminta untuk mengisi di acara agama lain yang ada di Desanya, meski berbeda keyakinan. 

“Malah saya sering diminta ngisi ceramah disana. Ngisinya tentang kesatuan. Intinya hidup bermasyarakat bersama sama tapi ibadahnya sendiri sendiri begitu,” terangnya. 

Kepala Desa Kaliputih, Parminto juga mengungkapkan hal yang sama. Perbedaan keyakinan tidak menjadi masalah dalam bermasyarakat. 

“Suasana kerukunan diantara beberapa umat saling menghormati, kebersamaan, gotong royong dan jiwa sosialnya tinggi. Warga saling membantu dalam kegiatan kepentingan di agama masing masing. Misal ada perayaan salah satu agama, maka umat lain turut menjaga,” jelas Parminto. 

Berdasarkan jumlah, mayoritas penduduk Desa Kaliputih adalah muslim. 

“Mayoritas muslim, kemudian Nasrani, lalu Budha. Prosentasenya 60%, 30%, dan 10%. Makanya disini kalau Masjid itu ada beberapa, kalau Vihara ada satu kemudian gereja ada dua,” jelasnya. 

Dalam keseharian, penduduk desa penghasil buah durian ini tidak pernah membedakan antara muslim dengan non muslim.

Kontributor : Citra Ningsih

Load More