Para siswa menerima pembabaran atau penguatan konsep hidup. Mereka nantinya akan melalui tahap pemastian hasil pembabaran dengan datang langsung ke Pertapaan.
Periode pemastian hasil pembabaran bervariasi. Siswa yang tinggal jauh seperti dari Kalimantan dan Jerman umumnya menjalani proses pemastian setahun sekali.
Siswa yang tinggal lebih dekat, bisa menjalani pemastian sebulan atau dua bulan sekali. “Secara berkala mereka akan memastikan sudah sampai mana perjalanan kesadarannya. Apakah masih kelas dasar atau sudah sampai laku.”
Tidak ada ketentuan berapa lama mereka harus tinggal di Pertapaan selama proses pemastian kesadaran. Bisa 2-3 hari, seminggu, atau bahkan sebulan, tergantung kemampuan masing-masing siswa.
Pertapaan Hyang Agung menyediakan dua pondok sederhana untuk para siswa menginap. Beberapa tidur di sawung pembabaran atau boleh juga menyewa homestay di luar Pertapaan.
Semua fasilitas di pertapaan seluas 1.500 meter ini disediakan gratis. Kebutuhan makan dipenuhi dari kantong pribadi dr Wulan.
Tapi bagi pertapa yang sudah memiliki kemampuan, dibolehkan membawa persembahan secara sukarela. “Kalau petani ya ada yang membawa cabai, terong. Untuk kehidupan bareng-bareng di sini.”
Di banyak sudut lahan ini disediakan tempat-tempat untuk sila bertapa. Semuanya menghadap ke pemandangan luas yang memungkinkan pertapa leluasa mengakses daya dari Yang Maha Kuasa.
Salah satu sudut paling nyaman adalah saung kecil yang menjorok turun ke tepian Kali Sileng. Duduk di saung ini ditemani gemericik air, terasa sangat menenangkan.
Baca Juga: Magelang Bergemuruh! Ada Nobar Timnas Indonesia U-23 vs Uzbekistan Serentak di 17 Kelurahan
“Jadi kalau tinggal hanya sehari, jelas tidak memungkinkan untuk bisa memahami (tapa). Paling tidak tinggal 2 sampai 3 hari untuk yang pertama,” kata Wulan.
Tingkat pemahaman siswa Pertapaan dibagi dalam 3 kelas: Dasar, mijil ruh, dan laku.
Kelas dasar untuk orang-orang yang (masih) hidup dalam khayalan. Hidup dalam impian dan cita-cita yang akhirnya sulit menerima kenyataan atau nepak hidup.
“Kami pindah dari kebiasaan berkhayal itu untuk selalu melihat kenyataan. Itu masuk kelas transisi atau kelas dasar.”
Setelah dianggap lulus dari kelas dasar, siswa akan masuk kelas mijil ruh atau kelas kesadaran. “Muncul kesadaran. Melihat. Mendengar kenyataan. Tidak lagi melihat dan mendengar impiannya.”
Setelah terbiasa melihat dan mendengar kenyataan, para siswa akan mulai belajar mengambil makna hidup. Memahami pengertian dalam kenyataan yang dia alami.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
UPDATE Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Selangkah Lagi Kunci Runner-up
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
Terkini
-
5 MPV Diesel Pilihan Rp150 Jutaan yang Worth It untuk Keluarga di Akhir 2025
-
BRI Perkuat Aksi Tanggap Bencana Alam, 70 Ribu Jiwa Terdampak Beroleh Bantuan
-
PSIS Semarang Gegerkan Bursa Transfer: Borong Tiga Pemain Naturalisasi Sekaligus
-
8 Wisata Terbaru dan Populer di Batang untuk Libur Sekolah Akhir 2025
-
5 Rental Mobil di Wonosobo untuk Wisata ke Dieng Saat Libur Akhir Tahun 2025