Budi Arista Romadhoni
Kamis, 16 Mei 2024 | 06:42 WIB
Proses melukis payung raksasa yang akan digunakan sebagai dekorasi perayaan Waisak 2568 BE tahun 2024. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).  

SuaraJawaTengah.id - Masyarakat kuno menggunakan bahasa simbol sebagai cara berkomunikasi. Salah satu cara mengenali strata spiritual dan sosial dalam masyarakat.  

Sosok mewakili orang suci atau bangsawan pada prasasti atau relief candi, digambarkan lewat penambahan ornamen-ornamen khusus yang membedakannya dari rakyat biasa.

Mereka umumnya digambarkan menunggang kereta kencana, kuda, atau dinaungi payung yang melambangkan kelas sosial tinggi.

Pada relief Candi Borobudur, para brahmin digambarkan dilindungi payung yang melambangkan spiritualitas. Dari 2.672 panel relief candi, ornamen payung muncul pada 332 panel diantaranya.  

Relief itu menggambarkan kisah-kisah pada kitab Lalitawistara Sutra dan Gandawyuha Sutra. Salah satunya menceritakan perjalanan Sudhanan berguru kepada 50 orang suci untuk mencapai pencerahan sempurna.

Selama perjalanan, Sudhana digambarkan sebagai pemuda yang selalu dinaungi payung. Payung atau chattra dalam spiritulitas Buddha, selain berfungsi sebagai pelindung juga bermakna keberanian dan kesucian.

Dalam praktik meditasi tantra, ornamen chattra selalu muncul dalam visualisasi. Chattra -berupa cakram batu bertumpuk tiga- biasanya menghias yasti di puncak stupa Buddha.     

Begitu penting elemen chattra, sehingga dinyatakan dalam Arya Manggala Kuta Mahayana Sutra bahwa “kepala Buddha adalah payung pelindung yang jaya”.   

Candi tanpa chattra di puncak stupa, bisa diibaratkan tubuh tanpa kepala. Melalui penempatan chattra, stupa tidak hanya menjadi tumpukan batu biasa, namun melambangkan kesempurnaan batin Buddha.

Baca Juga: Dipermudah dengan Fasilitas 'Fast Track' Pj Gubernur Jateng Lepas 352 Jamaah Calon Haji Kloter Pertama

Payung yang melambangkan atribut kelas sosial dan spiritual tinggi pada masyarakat Buddha, juga terlihat melalui lukisan G.B Hooijer yang dibuat kisaran tahun 1916-1919.

Lukisan Hoojier kini menjadi koleksi Wereldmuseum Amsterdam atau lebih dikenal Tropenmuseum (museum tropis). Museum ini menyimpan benda-benda bersejarah era kolonial dari Hindia Belanda, China, India, dan Afrika.

Lukisan Hooijer yang menggambarkan Candi Borobudur sebagai pusat ziarah umat Buddha, menampilkan banyak objek biksu dan kaum ningrat Jawa yang berjalan dinaungi payung.

Beberapa peziarah datang menunggang gajah. Banyak lagi yang jalan bertelanjang kaki. Ornamen payung pada lukisan Hoojier dihias warna kuning dan putih yang melambangkan sifat bijaksana serta kesucian Buddha.           

Sebagai bekas serdadu yang bekerja di Dinas Topografi Kerajaan Belanda, G.B Hooijer banyak membantu Komite Koleksi Kolonial mengkurasi barang-barang antik hasil rampasan dari tanah jajahan.

Hoojier terlibat dokumentasi rekonstruksi Candi Borobudur yang dilakukan pemerintah Belanda selama periode tahun 1900 hingga 1911. Lukisan peziarah Borobudur dibuatnya tidak lama setelah candi selesai dipugar.   

Load More