Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 10 Mei 2024 | 09:26 WIB
Halaman depan majalah Magelang Vooruit edisi Februari tahun 1937. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).

SuaraJawaTengah.id - Partai Liberal kalah telak pada pemilu Netherland tahun 1901. Nantinya, turut mengubah jalan nasib negara jajahan Hindia Belanda.

Jumlah perolehan kursi Partai Liberal di parlemen Belanda, anjlok dari 35 kursi menjadi hanya 18 kursi. Perubahan angin politik itu memaksa Perdana Menteri, Nicolaas Pierson lengser.

Posisinya digantikan Abraham Kuyper, pemimpin Anti Revolutionaire Partij (ARP) yang menguasai 22 kursi parlemen. Partai Protestan konservatif ini memperoleh 106.670 suara dukungan.               

Perolehan kursi terbanyak sebenarnya didapat Partai Katolik yang berhasil mendudukan 25 wakilnya di parlemen. Namun mereka menyerahkan posisi Perdana Menteri kepada Kuyper.   

Baca Juga: Heboh karena Dikunjungi Jokowi dan Prabowo, Ini 5 Fakta Unik Bakso Pak Sholeh Magelang

Koalisi partai konservatif dan Katolik ini menandakan berakhirnya dominasi kaum liberal ekonomi di Belanda. Prinsip “laissez faire” yang menjadi jantung liberalisme, digantikan campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Saat Partai Liberal Belanda berkuasa, urusan perekonomian diserahkan kepada kehendak bebas para pengusaha. Organisasi dagang macam VOC dapat mewakili kepentingan pemerintah di tanah jajahan.     

Perubahan besar politik dalam negeri, kemudian mengubah cara Belanda mengatur kebijakan pemerintahannya di negara koloni.

Dalam pidato pembukaan sidang State General pada September 1901, Ratu Willhelmina menyampaikan gagasan pembaharuan politik bagi tanah koloni.

Gagasan itu termasuk memberlakukan kebijakan etis melalui penerbitan Undang-undang Desentralisasi yang disahkan 20 Desember 1904.

Baca Juga: Mengingat Kembali Kisah Johannes Van Der Steur, Kompeni Belanda Asuh Ribuan Anak di Magelang

Kebijakan Desentralisasi antara lain mengatur perlunya pemisahan keuangan Belanda dengan wilayah-wilayah jajahan, termasuk Hindia Belanda.     

Salah satu tokoh yang paling gigih memperjuangkan desentralisasi di tanah koloni adalah anggota parlemen Belanda, Conrad Theodor Van Deventer.

Dikenal sebagai juru bicara gerakan politik etis, Van Deventer yang juga pengacara, beberapa kali pergi dan tinggal di Hindia Belanda untuk berbagai tugas hukum dan penelitian.

Antara tahun 1882 hingga 1885, Van Deventer pernah ditugaskan menjadi Dewan Tanah di Ambonia dan Dewan Kehakiman di Semarang.

Di Netherland, Deventer banyak menulis tentang kondisi rakyat Hindia Belanda yang hidup melarat. Kebanyakan artikel dimuat koran De Locomotief, media corong para pendukung politik etis.

Mewakili Free Thinking Democratic League di kursi parlemen Belanda, Deventer dikenal dekat dengan para tokoh pendukung politik etis. Mereka banyak mengritik kebijakan pemerintah di Hindia Belanda.

Van Deventer yang pertama kali menyatakan Belanda memiliki “utang kehormatan” kepada rakyat Hindia Belanda sebesar 190 juta gulden. Utang itu didapat dari bertahun-tahun mengekploitasi bumi manusia nusantara. 

Dia juga yang mendesak penyerahan kekuasaan administratif negara kolonial kepada penduduk Hindia Belanda. Orang Belanda harus membatasi campur tangan –hanya- pada hal yang bersifat prinsip pemerintah.               

Meski mendukung peningkatan derajat hidup rakyat negara jajahan, sikap Van Deventer sering dianggap ambigu.

Deventer masih mendukung penggunaan kekuatan militer untuk “mendisiplinkan” beberapa wilayah Hindia, dan turut menandatangani telegram penangkapan Panglima Polim oleh Gubernur Jenderal J.B Van Heutsz.      

Selain menjadi pengacara dan anggota parlemen, Conrad Theodor van Deventer juga anggota milisi sipil Belanda (schutterij) berpangkat Letnan Satu.    

Politik Etis di Hindia Belanda

Semangat politik etis menyapa rakyat Hindia Belanda melalui 3 program: Edukasi, irigasi, dan emigrasi.

Pemerintah penjajahan mulai membuka sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi yang terbatas hanya untuk kaum priyayi atau keturunan indo.

Lulusan sekolah seperti Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), atau Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA), disiapkan menjadi pegawai pemerintahan atau tenaga kerja pabrik-perkebunan milik Belanda.

“Politik etis sebagai propaganda kolonial dipandang sebagai upaya baru menghilangkan kesenjangan penjajah dan terjajah. Dengan cara menghilangkan budaya asli koloni untuk digantikan dengan budaya penjajah.”

Pengertian politik etis ala kolonial itu dijelaskan dalam makalah “Ethical Politics and Educated Elites in Indonesian National Movement”. Ditulis bersama oleh peneliti Fakultas Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Sumarno, R.N Bayu Aji, dan Eko Satriya Hermawan. 

Pendidikan dalam sudut pandang kolonialisme, hanya terbatas pada upaya memastikan ketersediaan angkatan kerja sesuai standar pemerintah.

Begitu juga dengan proyek irigasi yang menjadi program politik etis lainnya. Saluran pengairan dibangun untuk mendukung usaha perkebunan yang dikelola oleh perusahaan milik pemerintah Belanda. Jika air mengairi sawah warga, hampir dipastikan wilayah itu masuk dalam kuasa perkebunan.       

Senada dengan itu, program perpindahan penduduk di masa kolonial, bertujuan menyebar sumber daya pekerja ke perkebunan-perkebunan swasta milik Belanda di Sumatera dan Borneo. 

Pameran foto perayaan pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard di Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).

Magelang Vooruit

Berselang 30 tahun setelah Undang-undang Desentralisasi disahkan tahun 1904, pemerintah kolonial merasa perlu mempromosikan “wajah baru” Hindia Belanda.

Koran-koran terbitan para etis seperti De Locomotief, selain memuat tulisan yang nantinya menjadi bahan bakar pergerakan nasional, juga diisi artikel yang menampilkan kemajuan peradaban di wilayah koloni.

Tulisan yang tidak dimuat De Locomotief, dicetak pada majalah atau koran lokal yang terbit terbatas setingkat kota praja atau kabupaten.

“Bisa dibilang tahun 1930-an itu masa keemasan media cetak di Hindia Belanda. Majalah Magelang Vooruit ini sifatnya lokal. Tidak memuat (artikel) daerah lain, hanya menunjukkan kemajuan Magelang,” kata Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana.

Penanggung jawab majalah Magelang Vooruit yang diterjemahkan menjadi “Kemajuan Magelang” adalah Asosiasi-Vereeniging Magelang Vooruit.

Asosiasi ini dipimpin oleh Burgemeester (Walikota) Magelang, Ir R.C.A.F.J Nessel Van Lissa, dengan wakil F.J Eysenring yang saat itu menjabat Wakil Inspektur perusahaan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschhappij (NISM).       

Sekretaris dipercayakan kepada seorang insinyur Belanda, N.J Hangelbroek. Sedangkan bendahara, dipegang H Hesselink, pedagang di Magelang yang diduga imigran asal Overijssel atau Gelderland, kota kecil di timur Belanda.

Salah satu tokoh kunci majalah lokal ini adalah H.J Sjouke, agen koran harian De Locomotief yang bertanggung jawab atas wilayah Magelang dan sekitarnya.

Selain bertanggung jawab mendistribusikan majalah, diduga kuat H.J Sjouke punya peran penting menentukan materi redaksi Magelang Vooruit.

Sebagai koran pendukung gerakan etis, De Locomotief memiliki kepentingan menjaga propaganda politik di Hindia Belanda. Koran yang dibaca mayoritas orang kulit putih ini, merasa penting untuk mengabarkan perkembangan mutakhir koloni mereka.      

Jika De Locomotief memposisikan diri sebagai corong perjuangan hak-hak bumiputera, H.J Sjouke melalui Magelang Vooruit mempromosikan kemajuan masyarakat Hindia sebagai hasil dari politik etis.

Tiga belas butir asas pembentukan Vereeniging Magelang Vooruit, menjelaskan bahwa asosiasi dibentuk untuk mempromosikan Magelang sebagai kota yang layak ditempati.

“De inwoners aan te sporen tot verfraaiing van huntuinen en het verbeteren van het aanzien van hun gebouwen en erven. Bij de ingezetenen aan te kweeken: gemeenschapszin en liefde voor hun woonstad.”

(Untuk mendorong warga mempercantik taman mereka dan meningkatkan penampilan bangunan dan pekarangan. Menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa cinta terhadap kota tempat tinggalnya di kalangan warga). 

Mooi Hindie

H.J Sjouke banyak menulis situasi Magelang dari sudut pandang yang indah-indah. Salah satunya lewat buku “Wetenswaardigheden van Magelang” atau “Perlu Diketahui dari Magelang”.

Sjouke menyebut jumlah populasi di Magelang tahun 1930 mencapai 59.749 orang. Sebanyak 4.493 diantaranya adalah orang Eropa.

Orang-orang Eropa tinggal di permukiman yang asri, menyisakan sebagian pekarangan untuk ditanami aneka bunga.      

Julukan Magelang “Tuin van Java” atau tamannya Pulau Jawa muncul pada masa Burgemeester Magelang, Ir R.C.A.F.J Nessel Van Lissa yang menjabat 1934 sampai 1942.

Selain nyaman untuk tempat tinggal, Magelang ditawarkan sebagai tempat yang cocok untuk merintis bisnis. Biaya hidupnya terjangkau, upah koeli  angkutnya juga murah.     

Halaman majalah Magelang Vooruit diisi iklan rokok, cerutu, dan panggung kesenian tradisional. Ongkos muat iklannya f 10 (gulden) untuk seperempat halaman dan f 7,50 jika cetak di halaman belakang.      

H.J Sjouke tampak tidak main-main menggarap Magelang Vooruit. Untuk memudahkan kerja, dia memindahkan Sekretariat Vereeniging Magelang Vooruit tak jauh dari rumahnya yang sekaligus kantor agen De Locomotief di Gr Weg Noord 93 (sekarang kawasan Poncol, Kota Magelang).

Proses cetak majalah Magelang Vooruit kemungkinan besar juga diurus di Magelang. Tahun 1930-an di Magelang sudah ada percetakan H.V Maresch, milik orang Belanda di sekitar Poncol.

Orang Tionghoa mendirikan percetakan Go Jing Han di Pecinan yang sudah memakai mesin cetak bertenaga listrik. “Dugaan saya, majalah ini dicetak di Magelang (H.V Maresch). Meskipun saya belum memegang bukti validnya,” kata Bagus.  

Totalitas kotapraja “menjual surga” Magelang terlihat saat majalah Magelang Vooruit memuat edisi perayaan pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard.

Ini kesempatan bagi Vereeniging Magelang Vooruit untuk menunjukan kotanya layak disebut maju dan modern.

Pawai kolosal rakyat digelar di Magelang bersamaan dengan upacara pernikahan Putri Juliana di Den Haag, 7 Januari 1937. Mobil dan kereta kuda dihias. Diarak keliling kota oleh rakyat berpakaian wayang orang.

Gedung Balai Kota, Masjid Agung Kauman dan Alun-alun Magelang, dihiasi lampu kelap-kelip. Menunjukkan kemampuan Algemeene Nederlandsch Indische Electriciteits Maatschappij menyediakan pasokan listrik berlimpah.     

Liputan perayaan pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard di Magelang, dimuat majalah Magelang Vooruit pada edisi kelima, Februari 1937.  

Foto-foto aslinya sekarang dikoleksi oleh Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana.   

“Mungkin H.J Sjouke sendiri (yang mengambil foto-foto lawas itu). Itu kemungkinan ya. Pastinya foto-foto yang saya temukan, identik dengan foto yang dimuat dalam majalah Magelang Vooruit edisi Februari tahun 1937.”  

Hindia Akhir Masa Kuasa

Perkumpulan serupa dengan nama Bandoeng Vooruit lahir lebih dulu di tanah koloni Priangan tahun 1925. Tujuan, asas, dan program kerjanya: Mempromosikan dalam artian yang luas kepentingan Bandoeng dan daerah sekitarnya.  

Bandoeng Vooruit bersungguh-sungguh mengembangkan pariwisata di Bandung. Mereka membangun akses jalan menuju tempat plesir Tangkuban Perahu dan Gunung Papandayan.              

Perkumpulan juga sukses menggelar Bandoeng Sterrit 1941 untuk menarik wisatawan. Ini menjadi event reli mobil dan motor pertama di Hindia Belanda yang berskala nasional.

Promosi wisata Bandoeng Vooruit dimuat di majalah Mooi Bandoeng atau  “Bandung yang Indah”. Ada kemiripan Mooi Bandoeng dengan Magelang Vooruit: Sama-sama tidak membicarakan politik pergerakan.

“Membahas yang baik-baik saja. Isinya tidak memberitakan soal politik praktis tapi menonjolkan potensi Magelang. Sosial ekonomi, pariwisata, budaya. Tidak bicara konteks pergerakan nasional.”    

Pemerintah Belanda, di penghujung masa kuasanya menampilkan Hindia sebagai tanah yang menjanjikan untuk para kolonis. Berupaya menarik sebanyak mungkin imigran Eropa untuk tinggal dan menetap.

Meski mendesak kemajuan pendidikan bumiputera, politik etis Belanda tidak dimaksudkan untuk mendorong para terpelajar pribumi untuk memerdekakan diri.

Tujuan politik etis terutama menyerukan perlunya pemerintah kolonial membalas budi kepada bumiputera. Selain menyiapkan para pribumi beradab yang cakap bekerja dibawah kuasa ras kulit putih.

Tapi sejarah berkata lain. Tulisan-tulisan progresif yang dimuat De Locomotif -langsung atau tidak- menjadi alat pembangun kesadaran politik pergerakan nasional.

Hasil pemilu Belanda tahun 1901, kiranya menjadi momen kecil sejarah yang nantinya berpapasan dengan kondisi objektif nasional menuju kemerdekaan Indonesia.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More