Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 18 Desember 2024 | 08:50 WIB
Mgr Soegijapranata. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI

SuaraJawaTengah.id - Dalam sejarah Indonesia, nama Mgr. Albertus Soegijapranata atau Soegija begitu lekat dengan semangat nasionalisme dan religiusitas. Sebagai uskup pribumi pertama di Indonesia, beliau berhasil menyatukan kedua identitas tersebut dalam diri seorang pemimpin rohani. 

Mgr. Soegijapranata tidak hanya menjadi sosok panutan bagi umat Katolik, tetapi juga menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional. Melalui semboyan "100% Katolik 100% Indonesia", beliau menunjukkan bahwa iman dan nasionalisme dapat berjalan beriringan. Kontribusi Mgr. Soegijapranata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pembangunan bangsa sangatlah besar.

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Mgr. Albertus Soegijapranata lahir di Surakarta pada 25 November 1896 dari keluarga abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Kakeknya, Kiai Soepa, adalah seorang ulama terpandang pada masanya. Ketika Soegija masih kecil, keluarganya pindah ke Yogyakarta, di mana ayahnya menjadi abdi dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII.

Baca Juga: Sejarah Wayang Wahyu, Warisan Budaya yang Menyatu Ajaran Kristiani

Kecerdasan Soegija sudah terlihat sejak usia dini. Ia bersekolah di Sekolah Angka Loro di lingkungan keraton. Kecerdasannya menarik perhatian seorang imam Yesuit, Romo Frans van Lith, yang kemudian memintanya bergabung dengan Kolese Xaverius di Muntilan pada tahun 1909. Kolese ini merupakan sekolah asrama untuk calon guru yang terbuka bagi semua kalangan, termasuk pribumi, guna meningkatkan literasi masyarakat.

Di Kolese Xaverius, Soegija mulai tertarik mempelajari ajaran Katolik. Pada tahun 1910, ia meminta izin untuk mengikuti pelajaran agama Katolik meskipun awalnya ditentang oleh keluarganya. Namun, keinginannya yang kuat akhirnya membuahkan hasil. Pada 24 Desember 1910, ia dibaptis dan menerima nama baptis Albertus.

Perjalanan Menjadi Imam

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kolese Xaverius pada 1915, Soegija melanjutkan studinya ke Gymnasium di Uden, Belanda, pada tahun 1916. Di sana, ia mendalami ilmu agama, bahasa Latin, Yunani, dan filsafat di bawah bimbingan Ordo Sanctae Crucis (OSC). Perjalanan akademiknya berlanjut hingga ia mempelajari teologi di Maastricht, Belanda.

Pada tahun 1931, Soegija menerima Sakramen Imamat dari Uskup Roermond di Maastricht dan menambahkan kata "pranata" pada namanya, menjadi Soegijapranata. Dua tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia dan ditugaskan sebagai Pastur Pembantu di Bintaran sebelum diangkat menjadi Pastur Paroki.

Baca Juga: Sejarah Salatiga, Pusat Penyebaran Kristen di Jawa Tengah

Pada tahun 1940, melalui telegram dari Kardinal Giovanni Battista Montini (kelak menjadi Paus Paulus VI), Soegijapranata ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik Semarang sekaligus Uskup Tituler Danaba. Ia pun menjadi uskup pribumi pertama di Indonesia setelah ditahbiskan pada 6 Oktober 1940 di Gereja Rosario Suci Randusari, Semarang.

Diplomasi untuk Kemerdekaan Indonesia

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa belum usai. Belanda kembali menyerang berbagai wilayah Indonesia, termasuk Surabaya, Bandung, Ambarawa, dan Semarang. Dalam situasi ini, Mgr. Soegijapranata memainkan peran penting dalam diplomasi untuk mendapatkan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia.

Melalui tulisan-tulisannya di media dalam dan luar negeri, Soegija mengungkapkan keprihatinan atas kekejaman yang terjadi selama perang. Usahanya membuahkan hasil ketika Vatikan menjadi entitas politik Eropa pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia pada 6 Juli 1947. Pengakuan ini mendorong umat Katolik di seluruh dunia untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Kiprah Setelah Kemerdekaan

Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar, Soegijapranata terus aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Ia mendirikan organisasi Buruh Pancasila untuk mempromosikan Pancasila sebagai falsafah kehidupan. Selain itu, ia mendukung kebijakan-kebijakan yang mengedepankan kesejahteraan rakyat.

Pada 30 Mei 1963, Soegija berangkat ke Vatikan untuk menghadiri pemilihan Paus Paulus VI. Namun, kesehatannya memburuk, dan ia dirawat di Canisius Hospital, Nijmegen. Pada 22 Juli 1963, Soegija meninggal dunia akibat serangan jantung di sebuah susteran di Steyl, Belanda.

Presiden Sukarno memerintahkan agar jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Pada 26 Juli 1963, melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, Mgr. Albertus Soegijapranata resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kontributor : Dinar Oktarini

Load More