Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 04 Maret 2025 | 19:01 WIB
Unjuk rasa damai bertajuk “Ruwatan Kepala Daerah” yang digelar kolektif independen masyarakat sipil Magelang, Ruang Juang, pada 28 Februari 2025 dibubarkan. [Foto: Dok. Ruang Juang]

SuaraJawaTengah.id - Ada yang luput dari sorotan media disela gegap gempita retreat kepala daerah akhir Februari lalu. Unjuk rasa belasan orang di depan kompleks Akademi Militer direpresi aparat.

Unjuk rasa damai bertajuk “Ruwatan Kepala Daerah” yang digelar kolektif independen masyarakat sipil Magelang, Ruang Juang, pada 28 Februari 2025 dibubarkan dengan kekerasan.

Akibatnya, satu orang cedera angkel kaki kiri akibat terinjak aparat dan seorang lainnya terjerat tali poster akibat ditarik petugas. Korban luka hingga kini masih dalam perawatan.

“Ada 2 orang yang cedera. Satu cedera engkel, yang satu lagi ditarik rafia sampai talinya putus. Ada juga teman perempuan yang kesikut perutnya tapi tidak ada bekas luka,” kata Enrille Geniosa, anggota kolektif Ruang Juang, Selasa (4/3/2025).

Baca Juga: Usai Retret di Akmil, Gubernur Jateng Langsung Tancap Gas Kerja untuk Rakyat

Menurut Enrille, aparat sempat berjam-jam menahan para peserta aksi di kompleks pemakaman umum Giriloyo yang berjarak sekitar 100 meter dari pintu masuk Akmil.

Mereka dilarang mendekati pertigaan Jalan Gatot Subroto-Sunan Giri atau Pertigaan Giriloyo yang semula akan dijadikan lokasi unjuk rasa. Para pengunjuk rasa dilarang keluar lokasi makam, bahkan untuk sekadar melaksanakan shalat.

“Kami bentangkan banner di aspal. Untuk shalat Jumat saja ditahan. Akhirnya Jumatan di lokasi makam. Tapi alhamdulillah bisa shalat Jumat,” kata Koordinator Umum (Kordum) Ruang Juang, Bertrand.

Unjuk rasa “Ruwatan Kepala Daerah” sejak semula direncanakan sebagai aksi damai. Enrille mengaku beberapa kali berkoordinasi dengan polisi dan TNI terkait rencana unjuk rasa.

Mereka meminta penjelasan soal apa yang tidak boleh dilakukan selama unjuk rasa pada kegiatan VVIP.

Baca Juga: BEM Nusantara Jateng Soroti Kewenangan Absolut dalam RUU KUHAP

Unjuk rasa damai bertajuk “Ruwatan Kepala Daerah” yang digelar kolektif independen masyarakat sipil Magelang, Ruang Juang, pada 28 Februari 2025 dibubarkan. [Foto: Dok. Ruang Juang]

“Kami koordinasi sama polisi, sama Kodim, sama Korem. Apa yang nggak boleh. Nggak boleh menghina, mencaci, memaki. Kami juga ganti dresscode yang semula hitam-hitam jadi batik.”

Pilihan mengubah aksi dalam bentuk upacara ruwatan juga bertujuan menghindari gesekan dengan aparat. “Tidak ada aksi orasi. Langsung pindah ke model kebudayaan yaitu memperkenalkan ruwatan.”

Ruwatan merupakan bentuk simbolis membersihkan diri dari hal-hal yang buruk. Ruang Juang menilai, para kepala daerah terpilih punya kewajiban memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Ruang Juang menggunakan momen berkumpulnya kepala daerah se-Indonesia untuk menyuarakan masalah di daerah, terutama terkait Proyek Strategis Nasional (PSN).

Mereka menilai, konflik muncul dan menjadi parah karena pasifnya kepala daerah dalam memperjuangkan hak rakyat. “Mikir dulu, berikan keadilan di daerah kalian. Itu kalimat-kalimat yang sangat puitis kami sampaikan. Sama sekali tidak menyinggung. Hanya pesan moral saja,” ujar Bertrand.

Beberapa Proyek Strategis Nasional yang disoroti Ruang Juang antara lain, proyek Jalan Tol Semarang-Demak yang merusak puluhan hektare lahan mangrove.

PLTU Jepara yang menyebabkan perubahan iklim lokal serta konflik agraria akibat PSN di Rempang (Kepulauan Riau), Papua, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Sepanjang 2020-2024 terjadi 154 konflik akibat Proyek Strategis Nasional di lahan seluas 1,1 juta hektare. Akibatnya 103.000 warga terdampak baik karena penggusuran maupun kerusakan alam.

Bukan melakukan evaluasi terhadap PSN, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bahkan akan menambah 77 lokasi baru Proyek Strategis Nasional.

“Itu bentuknya (aksi kami) simbolis saja. Poin pentingnya kami ingin menyampaikan pesan dari daerah-daerah konflik di Demak, Rempang, Rawapening, Papua, PLTU Jepara.”

Ruang Juang kecewa, upaya mereka melakukan aksi damai dijawab dengan kekerasan. “Dapat momennya hanya (kena) marah-marah. Kami kecewa. Kami sudah kooperatif. Membuka ruang komunikasi, negosiasi sebesar-besar mungkin. Bahkan ketika kami dibentak pun, massa aksi tetap tenang.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More