Budi Arista Romadhoni
Minggu, 20 April 2025 | 08:33 WIB
Suasana haul Mbah KH Thohir ke-57 di Kota Semarang pada Jumat (18/4/2025). Ulama tersebut pun diusulkan menjadi pahlawan nasional. [Istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Jejak perjuangan KH Thohir, seorang ulama kharismatik dari Penggaron, Semarang, yang dikenal sebagai mursyid thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah sekaligus pejuang kemerdekaan, kembali mengemuka dalam peringatan haul ke-57 beliau yang digelar Jumat malam, 18 April 2025.

Acara ini diselenggarakan oleh keluarga besar almarhum, dipimpin KH Yusuf Masykuri, cucu KH Thohir sekaligus pengasuh Pondok Pesantren at-Thohiriyyah.

Haul yang dirangkai dengan pembekalan calon jamaah haji dari KBIH al-Muna ini dihadiri ratusan jamaah dari berbagai kalangan. Dalam sambutannya, KH Yusuf Masykuri menekankan bahwa KH Thohir bukan hanya sosok pendidik dan ulama, tetapi juga tokoh perlawanan terhadap penjajah Belanda di wilayah Semarang timur.

"Beliau adalah pelopor pergerakan masyarakat Penggaron dalam menghadapi penjajah. Perjuangannya penting untuk dikenang dan dijadikan teladan bagi generasi muda," ujarnya.

Pemerintah dan masyarakat telah mengabadikan nama KH Thohir sebagai nama jalan penghubung Penggaron Kidul dan Lor, sebuah bentuk penghormatan atas jasanya. Namun kini, muncul wacana lebih besar: mengusulkan beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Latar Belakang dan Kiprah Keilmuan

KH Thohir lahir dari pasangan Mbah Mertojoyo di Dukuh Teguhan, Wringinjajar, Mranggen, Kabupaten Demak. Sejak muda, ia menimba ilmu ke berbagai pesantren hingga ke tanah suci Makkah. Ia dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu agama seperti tafsir, hadits, nahwu, shorof, hingga balaghah.

Semasa di Makkah, KH Thohir juga mendapat baiat thoriqoh dari Syekh Asro, murid dari Syekh Ali Ridlo. Sekembalinya ke tanah air, beliau diangkat menjadi mursyid thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan mendirikan pesantren al-Muarifah sebagai pusat pendidikan dan pembinaan santri serta murid thoriqoh.

Tak hanya mengajarkan ilmu, beliau juga membimbing spiritual melalui kegiatan suluk dan tawajuhan. Jumlah murid thoriqohnya tersebar ke berbagai daerah hingga luar Semarang.

Baca Juga: Makam Keramat di Tengah Taman Hiburan Terbengkalai: Kisah Mistis Wonderia Semarang

Perlawanan Terhadap Penjajah

Setelah proklamasi kemerdekaan, masyarakat Indonesia harus kembali menghadapi ancaman penjajahan dari Belanda.

Di wilayah Semarang bagian timur, yang kala itu masih menjadi bagian Kabupaten Demak, terjadi mobilisasi besar-besaran dalam menyusun kekuatan rakyat.

KH Thohir bersama para santri dan tokoh setempat membentuk basis perlawanan. Rumah beliau dijadikan markas laskar Hizbullah dan Sabilillah. Tiga kali rumahnya digempur dan dihancurkan Belanda, termasuk pembakaran kitab-kitab ulama yang sangat berharga.

Karena kekuatan senjata yang timpang, KH Thohir dan warga akhirnya mengungsi ke daerah Bulusari, Demak, sambil tetap menggalang kekuatan perlawanan.

Wilayah-wilayah seperti Bugen dan Bangetayu juga menjadi saksi kekejaman Belanda. Pada 1946, sebanyak 74 pejuang yang bermarkas di Bugen gugur dalam serangan besar-besaran.

Load More