Budi Arista Romadhoni
Rabu, 11 Juni 2025 | 08:51 WIB
Lanskap Dusun Ngaran Krajan, Magelang di Kaki Candi. [Suara.com/Angga Haksoro]

SuaraJawaTengah.id - Menggali ingatan warga dusun Ngaran Krajan sebelum penggusuran. Mereka yang kini memandang Candi Borobudur dari kejauhan.

Dalam ingatan Muh Barodi, Ngaran Krajan—kampung masa kecilnya— adalah tempat yang sudah maju. Berada di lingkup tapak Candi Borobudur, dusun ini sudah memiliki beberapa kantor perwakilan pemerintahan dan fasilitas umum yang terbilang lengkap.

Diantaranya kantor pertanian, Pendopo Kademangan Ngaran Krajan, pasar, masjid, dan terminal. Sekaligus beberapa orang ditunjuk sebagai ndoro mantri, atau pejabat yang berwenang menjalankan tugas layanan umum tertentu.

Kantor pertanian Borobudur masa itu misalnya, dipimpin oleh seorang ndoro mantri pertanian bernama R Kardono, asal Dusun Barepan, Wanurejo. Lokasi kantornya hanya berjarak sekitar 150 meter sebelah Utara candi.   

Kemudian opas Damanuri yang bertugas sebagai juru ili-ili atau mantri yang bertanggung jawab mengatur pembagian air irigasi. Setelah meninggal, tugas Damanuri dilanjutkan oleh anaknya Muhdi.

Damanuri menjadi juru ili-ili sejak zaman Belanda. Berbeda dari situasi sekarang, saluran irigasi masa itu terus teraliri air meski pada musim kemarau.

“Sebelum digusur, Dusun Ngaran Krajan sudah maju sejak dulu. Borobudur dulu itu tanah perdikan. Sejak zaman Mataram Kuno. Setelah Mataram Islam berdiri, Kraton Yogyakarta menghormati kawasan Borobudur sebagai kawasan yang merdeka,” kata Muh Barodi, anggota Lembaga Adat Daerah (LAD) Borobudur.

Barodi mengaku sebagai keturunan Jogoboyo di Kademangan Ngaran Krajan. Beberapa rujukan bacaan menyebutkan kademangan sebagai wilayah kekuasaan setingkat desa.

Prasasti Tri Tepusan

Baca Juga: Teror Mencekam KKN di Magelang: Sampai Trauma Seumur Hidup!

Menurut Barodi, status dusun Ngaran Krajan sebagai tanah perdikan atau sima yang bebas pajak, dijelaskan dalam prasasti Tri Tepusan yang berangka tahun 842 Masehi.

Prasasti itu menyebutkan tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa, agar penduduknya ikut menjaga wilayah Kamulan Bhumisambara atau kawasan Candi Borobudur.

“Prasasti Kahulunan (Tri Tepusan) itu menegaskan bahwa Borobudur di-desentralisasi pada masyarakat sekitarnya. Maksudnya diserahkan pengamanannya, perawatannya sebelum Kerajaan Medang (Mataram Kuno) dipindah ke Jawa Timur.”

Penyerahan pengamanan ini menjadi dasar keyakinan Barodi, bahwa Candi Borobudur tidak pernah benar-benar ditinggal oleh penduduknya, selama pralaya letusan Merapi tahun 1008 M—seperti sering dijelaskan dalam buku-buku sejarah.

Dia yakin, selama kepindahan kerajaan Medang ke Jawa Timur, Candi Borobudur tetap dalam penjagaan para punggawa, juru kunci warga Ngaran Krajan.  

Kondisi Candi Borobudur saat ditemukan juga tidak sedemikian hancur, seperti yang dilaporkan Bupati Yogyakarta, KRT Secodiningrat (Tan Jin Sing) tahun 1811, kepada Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles. 

Raffles dalam bukunya History of Java, sekilas menulis soal Candi Borobudur:

“Penampakan secara keseluruhan merupakan bangunan yang kokoh, dan tingginya 100 kaki, puncak menara sekitar 20 kaki, namun telah runtuh. Hampir semua interior merupakan bukit itu sendiri.”

Wali Pelindung di Makam Njaten

Muh Barodi saat menunjukan sejarah Dusun Ngaran Krajan, Magelang. [Suara.com/Angga Haksoro]

Barodi berteori, batuan Candi Borobudur sengaja dilepas oleh warga sekitar agar tidak dikenali para pejajah sebagai bangunan bersejarah. Mereka khawatir penjajah akan menjarah arca dan relief kuno candi. 

Bangunan sebesar itu kemudian dibiarkan ditumbuhi semak belukar agar tersamarkan. Candi Borobudur tampak seolah seperti bangunan hancur dan telantar.

Kebanyakan warga hingga tahun 1970-an masih sering menyebut Candi Borobudur dengan istilah “mpereng”. Sisa kebiasaan penyebutan masa lampau yang bertujuan menghindari ekspos terhadap Candi.    

“Kabar masuknya Portugis ke Nusantara, disusul surat imbauan kepada negara persemakmuran Majapahit untuk mengamankan asetnya. Batuan candi yang menjulang supaya lebih aman disamarkan. Dicopot,” ujar Barodi.

Struktur batu candi yang disebut runtuh, kata Barodi sesungguhnya hanya dibiarkan terserak tidak jauh dari tempatnya semula. Pemugaran pertama Candi Borobudur, tahun 1907-1911, termasuk menyusun kembali bagian Arupadathu yang terdiri atas stupa induk dan 72 stupa di tiga lantai teras.

Bukti lain yang menegaskan bahwa warga Ngaran Krajan—secara turun temurun—menjadi penjaga Candi Borobudur adalah keberadaan makam tua di bukit Njaten.

Di bukit sebelah Tenggara Candi itu, dulu terdapat makam keluarga trah Panembahan Senopati Mataram yang dikenal dengan sebutan Kiai Mbuduran atau Kiai Mpereng. Pinisepuh warga Dusun Krajan ini diperkirakan wafat tahun 1700-an.   

Di luar kompleks makam warga, terdapat kubur seorang antropolog Belanda kelahiran Rembang, Gustavus Fredericus Lapre. Sekitar tahun 1882, Lapre wafat di Borobudur dan dimakamkan di bukit Njaten.

Pada masanya, sosok hantu Lapre pernah ditakuti anak-anak warga Dusun Ngaran Krajan dan Kenayan. Mitos hantu orang Belanda berjanggut panjang seperti sarang laba-laba ini berhasil menjaga kelestarian Candi Borobudur dari tangan jahil anak-anak.

Menghapus Peradaban

Setelah pemugaran Candi Borobudur selesai tahun 1983, sekitar 327 warga Dusun Ngaran Krajan dan Kenayan digusur. Sebagian pindah ke daerah kapling Kenalan, sebagian lagi bergeser ke arah Timur Candi.

Makam-makam di bukit Njaten kemudian dibongkar yang sebagian dipindah ke Dusun Gendingan. Beberapa orang menyebut, inilah momen awal terputusnya rantai sejarah kearifan dan keharmonisan cagar budaya Candi Borobudur dengan masyarakat sekitarnya.

“Penggusuran kemudian merembet. Dari semula setelah pemugaran yang kena 100 meter dari kaki Candi Borobudur, kemudian 150 meter. Jejak dulu ada masjid Kauman Borobudur, Pendopo Kademangan, pendopo asisten, hilang semua.”

Dusun Ngaran Krajan yang berada di sisi Timur candi disapu bersih. Jejak bekas lokasi pasar Ngaran, tinggal menyisakan pohon beringin besar yang masih berdiri hingga kini di dekat pintu masuk utama.

Pasar Ngaran, dulu termasuk pasar besar di Magelang, selain pasar Rejowinangun, Muntilan, dan Salaman. Pasar ini ramai tiap hari pasaran Wage dan Legi. 

Demi menjaga ingatan kolektif, Barodi membangun miniatur lanskap dusun Ngaran Krajan di pojok halaman rumahnya. Pendopo Jogoboyo, bukit makam Njaten, dan pondok-pondok kecil, mengambarkan tata letak dusun di sisi timur kaki Candi Borobudur.  

Pada papan sepanjang kurang lebih 10 meter, Barodi menempelkan bermacam kronik dan cuplikan kenangan dari tanah kelahirannya. Ada nada getir terasa ketika ia menceritakan masa kecilnya di dusun Ngaran Krajan.

Bewaker Borobudur

Foto-foto sejarah dusun Ngaran Krajan, Magelang. [Suara.com/Angga Haksoro]

Pemugaran Candi Borobudur yang berlangsung antara tahun 1973 hingga 1983 juga menggusur pendopo yang menjadi markas Jogoboyo. Padahal kata Barodi, selama seratusan tahun candi dijaga oleh para tenaga sukarela ini.  

Kami menemukan foto yang diambil sekira tahun 1950-an yang menunjukkan sosok Jogoboyo penjaga Dusun Ngaran Krajan dan Candi Borobudur. Pada keterangan foto tercantum: Bewaker van de Borobudur op midden Java (penjaga Borobudur di Jawa Tengah).    

Pendopo markas Jogoboyo berada di dataran yang tinggi di sebelah Barat Candi. Dari sini para Jogoboyo mengawasi kampung mereka.

Setiap sore, Punggawa Kademangan Ngaran Krajan, Wirotijo bertugas menyalakan lampu ting di empat gardu penjagaan Belanda yang tersebar di Brojonalan, Kenayan, Ngaran, dan Brongsongan. Lampu yang dinyalakan menandakan pengamanan sedang berjalan oleh para Jogoboyo.

Gardu penjagaan di pertigaan Brojonalan (sekitar pos polisi dekat Tourist Information Center-TIC) dan Kenayan tak tampak lagi bekasnya. Setelah pemugaran Candi, Gardu Belanda di Ngaran sempat berubah bentuk sesuai master plan arahan JICA, sebelum akhirnya juga dibongkar.

Tinggal tersisa bekas gardu penjagaan Belanda di Brongsongan, yang terlihat tidak terawat dan ganjil di tepi jalan penghubung Borobudur dengan Kecamatan Salaman.  

“Setelah pemugaran Borobudur, nomenklatur Jokoboyo dihapus. Penjagaan Borobudur (sekarang) hanya mengandalkan security. Saat Borobudur dijaga secara spiritual oleh para Jogoboyo, yang mau merusak Borobudur kan berpikir seribu kali.”

Penjaga Spiritual Candi

Penjagaan spiritual yang dimaksud Barodi terutama ikatan batin warga dengan Candi Borobudur. Rasa memiliki menjadi sistem perlindungan paling efektif yang menjamin kelestarian tempat bersejarah.    

Pengelolaan Candi Borobudur yang meninggalkan peran aktif warga serta kearifan lokal, berpotensi mengancam kelestariannya. Sebab sejarah Candi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi warga Borobudur, terutama warga dusun Ngaran Krajan.

Menurut Barodi, secara defacto nomenklatur Jogoboyo, juru kunci Candi Borobudur, memang telah dihapus setelah selesai pemugaran. Tapi secara dejure mandat untuk menjaga dan melestarikan Borobudur tidak mungkin dapat dihapus.

Setelah keberadaan para bewaker van de Borobudur dihilangkan dari komponen pelestarian Candi, sifat perlindungannya berubah menjadi umum.  

“Siapa diantara kita yang ikut terpanggil menjaga dan melestarikan marwah Borobudur, merekalah para bewaker tersebut. ‘Sinuwun Borobudur’ akan memilih para pembelanya sendiri. Bisa siapa saja, darimana saja.” 

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More