Budi Arista Romadhoni
Senin, 14 Juli 2025 | 10:51 WIB
Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Sarif Abdillah. [Istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Fenomena "anak hilang" dari sistem pendidikan menjadi alarm darurat yang kian nyaring terdengar. Bukan hilang secara fisik, melainkan mereka yang lulus dari satu jenjang pendidikan namun tak pernah mendaftar ke jenjang berikutnya.

Mengatasi masalah krusial ini, muncul usulan terobosan dari Jawa Tengah untuk melacak dan menyelamatkan masa depan generasi penerus bangsa.

Pemerintah didesak untuk segera menerapkan sistem monitoring anak sekolah yang komprehensif. Sistem ini dirancang sebagai langkah preventif untuk menekan angka putus sekolah yang masih menjadi momok, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama yang merupakan pondasi wajib belajar.

Gagasan ini datang dari Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Sarif Abdillah, yang melihat adanya celah besar dalam pengawasan transisi siswa antar jenjang.

Menurutnya, sistem monitoring ini bisa menjadi mata digital pemerintah untuk memantau keberlanjutan pendidikan setiap anak, terutama pada titik kritis seperti siswa kelas VI SD yang akan ke SMP dan siswa kelas IX SMP yang akan melanjutkan ke jenjang atas.

“Melalui sistem seperti ini, pemerintah bisa mengetahui secara menyeluruh apakah mereka melanjutkan pendidikan atau tidak,” ungkap Sarif Abdillah.

Lebih dari sekadar pendataan, sistem ini akan menjadi basis data yang kuat bagi para kepala daerah. Data yang terkumpul secara real-time dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat sasaran untuk menekan angka anak tidak melanjutkan sekolah (ATS). Dengan begitu, intervensi tidak lagi bersifat reaktif, melainkan proaktif.

Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Sarif Abdillah. [Istimewa]

“Karena dengan model ini, bisa diketahui siswa yang keluar dari sekolah namun tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya, sehingga pemerintah bisa melakukan intervensi langsung, baik dengan mengajak anak tersebut kembali ke sekolah reguler maupun mengarahkan mereka ke pendidikan kesetaraan, tergantung pada usia dan kondisi,” sebut politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Fakta di lapangan, berdasarkan catatan Kemendikdasmen, menunjukkan alasan anak putus sekolah sangat kompleks. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama, di mana 25,55% anak tidak sekolah karena tidak ada biaya.

Baca Juga: Sarif 'Kakung' Abdillah: Jalan Antar Kabupaten Harus Jadi Fokus Pembangunan Jateng

Disusul oleh keharusan mencari nafkah atau bekerja (21,64%), menikah atau mengurus rumah tangga (14,56%), dan merasa pendidikan sudah cukup (9,77%). Penyebab lainnya termasuk disabilitas (3,64%), sekolah yang terlalu jauh (2,61%), hingga menjadi korban perundungan (0,48%).

Sarif menegaskan bahwa pendidikan bukanlah sebuah pilihan, melainkan hak fundamental setiap warga negara yang harus dijamin oleh negara. Setiap anak, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan akses pendidikan yang layak untuk masa depan mereka.

“Anak-anak yang terdidik juga akan menjadi generasi penerus bangsa yang lebih baik,” terang pria yang akrab disapa Kakung ini.

Dengan adanya sistem pemantauan yang terintegrasi, diharapkan tidak ada lagi anak yang tercecer dari sistem pendidikan. Pemerintah bisa segera turun tangan dan memastikan mereka kembali mendapatkan haknya untuk belajar. Penguatan program bantuan yang sudah ada juga menjadi kunci keberhasilan.

“Intervensi yang dilakukan, baik dengan BOS (Bantuan Operasional Sekolah), atau KIP (Kartu Indonesia Pintar) harus diperkuat, sehingga jumlah anak tidak sekolah ke depan, terus bisa diminimalisir,” tandasnya.

Load More