Budi Arista Romadhoni
Rabu, 20 Agustus 2025 | 14:43 WIB
Suasana ibadah haji 2024 di tanah suci. [Istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Penyelenggaraan haji 2024 meninggalkan jejak perdebatan panas yang kini bermuara pada penyelidikan politik tingkat tinggi. 

Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji oleh DPR RI bukanlah peristiwa yang terjadi tiba-tiba. 

Hal itu adalah puncak dari serangkaian keputusan, kesepakatan, dan kebijakan yang saling tumpang tindih dalam kurun waktu beberapa bulan, menempatkan Kementerian Agama (Kemenag) di bawah kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas sebagai sorotan utama.

Untuk memahami akar masalahnya, penting untuk menelusuri kembali jejak waktu dan kronologi setiap keputusan yang diambil, dari awal kabar baik hingga menjadi bola panas politik.

Oktober 2023: Titik Awal Penuh Harapan

Semua bermula dari sebuah kabar gembira. Indonesia secara resmi mendapatkan kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah dari Kerajaan Arab Saudi. 

Angka ini menjadi angin segar, memunculkan harapan bagi ribuan calon jemaah yang telah bertahun-tahun berada dalam daftar tunggu. Pada titik ini, belum ada tanda-tanda badai akan datang.

27 November 2023: Kesepakatan Suci di Senayan

Menindaklanjuti kuota tambahan, Komisi VIII DPR RI menggelar rapat kerja krusial bersama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. 

Baca Juga: Soal Cawapres Pendamping Ganjar Pranowo, Gus Yaqut: Kualitas Erick Thohir Tak Diragukan

Dalam rapat ini, lahirlah sebuah kesepakatan fundamental. Total kuota haji Indonesia untuk tahun 2024 ditetapkan sebanyak 241.000 jemaah.

Yang terpenting, komposisi pembagiannya disepakati secara tegas, mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019: 92% untuk jemaah haji reguler (221.720) dan 8% untuk jemaah haji khusus (19.280). 

Rapat ini juga menyepakati Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp93,4 juta. Kesepakatan ini dianggap sebagai landasan hukum dan komitmen bersama antara pemerintah dan legislatif.

Desember 2023: Faktor Eksternal yang Mengubah Permainan

Suasana ibadah haji 2024 di tanah suci. [Istimewa]

Sebuah perubahan signifikan terjadi di Arab Saudi. Pemerintah Saudi menerapkan kebijakan baru yang tak terduga: sistem zonasi untuk pemondokan di Mina. 

Tradisi tarif tunggal dihapus, digantikan dengan lima zona berjenjang di mana lokasi terdekat dengan Jamarat (tempat lontar jumrah) memiliki biaya sewa paling mahal.

Menurut Dirjen PHU Hilman Latief, kebijakan ini menjadi titik balik. "Jemaah haji reguler Indonesia, berdasarkan perhitungan anggaran, hanya mampu ditempatkan di Zona 3 dan 4." 

Masalahnya, zona tersebut sudah padat. Kuota tambahan 20.000 jemaah tidak mungkin lagi dipaksakan masuk ke sana. 

Satu-satunya opsi yang tersedia adalah Zona 2 yang masih lowong, namun dengan biaya yang jauh melampaui kemampuan anggaran jemaah haji reguler.

9 Januari 2024: Terbitnya Keppres yang 'Menggantung'

Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. 

Keppres ini menjadi landasan hukum utama untuk BPIH. Namun, ada satu detail krusial yang luput: Keppres ini sama sekali tidak merinci pembagian alokasi kuota antara haji reguler dan haji khusus. 

Kekosongan inilah yang kemudian menjadi celah administratif.

29 Januari 2024: Langkah Sepihak Kemenag

Menghadapi tekanan operasional akibat kebijakan zonasi Saudi dan kekosongan rincian kuota dalam Keppres, Kemenag mengambil langkah diskresi.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah menerbitkan SK Dirjen PHU Nomor 118 Tahun 2024.

Inilah momen yang menjadi jantung polemik. Di dalam SK level Dirjen ini, Kemenag secara teknis menetapkan alokasi kuota tambahan. 

Dari 20.000 kuota ekstra, 10.000 dialokasikan untuk haji khusus. Artinya, Kemenag mengubah rasio yang sebelumnya disepakati bersama DPR. 

Kemenag berdalih langkah ini adalah satu-satunya cara cepat dan logis untuk mengisi slot kosong di Zona 2 Mina yang mahal, yang hanya bisa dipenuhi oleh jemaah haji khusus.

Juli 2024: Ledakan Politik di Parlemen

Suasana ibadah haji 2024 di tanah suci. [Istimewa]

Ketidaksinkronan antara kesepakatan rapat kerja November 2023 dan implementasi di lapangan yang didasari SK Dirjen Januari 2024 akhirnya tercium oleh DPR. 

Para wakil rakyat merasa kesepakatan bersama telah diabaikan melalui sebuah produk hukum yang levelnya lebih rendah. 

Mereka mempertanyakan mengapa perubahan fundamental ini tidak dikonsultasikan kembali secara formal dalam rapat kerja.

Puncak dari kekecewaan dan kecurigaan ini adalah pembentukan Pansus Hak Angket Haji pada 9 Juli 2024. 

DPR kini menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyelidiki secara tuntas, apakah tindakan Kemenag murni sebuah diskresi teknis yang dapat dibenarkan untuk menyelamatkan situasi, atau sebuah pelanggaran terhadap undang-undang dan komitmen politik yang telah dibuat.

Load More