- Getuk lahir di masa krisis Jepang, simbol keteguhan dan kreativitas rakyat mengolah singkong jadi pangan.
- Filosofi singkong dan kelapa ajarkan kesederhanaan, ketulusan, dan kebermanfaatan dalam hidup manusia.
- Dari Grebeg Getuk hingga inovasi modern, getuk jadi warisan budaya Jawa yang terus hidup lintas generasi.
SuaraJawaTengah.id - Di tengah gempuran makanan modern, ada satu kudapan tradisional yang tetap bertahan dari masa ke masa: getuk. Makanan manis berbahan dasar singkong ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa sejak masa penjajahan Jepang.
Teksturnya lembut, rasanya manis gurih, dan tampilannya sederhana, namun di balik itu semua tersimpan sejarah panjang dan filosofi hidup yang dalam.
Getuk bukan hanya makanan ringan untuk teman minum teh, melainkan simbol keteguhan dan kreativitas rakyat Indonesia dalam menghadapi masa sulit.
Ia adalah kisah tentang bagaimana sesuatu yang sederhana bisa menjadi warisan budaya yang bertahan lintas generasi.
1. Sejarah Getuk: Dari Krisis Menjadi Kreativitas
Kisah getuk berawal pada masa penjajahan Jepang, ketika Indonesia mengalami krisis beras. Masyarakat yang kesulitan mendapatkan bahan makanan pokok mulai mencari alternatif sumber karbohidrat.
Di tengah keterbatasan itu, seorang warga Magelang bernama Ali Muhtar menemukan cara untuk mengolah singkong menjadi makanan yang mengenyangkan dan lezat.
Singkong yang sudah direbus kemudian ditumbuk hingga halus. Proses penumbukan ini menghasilkan bunyi khas “tuk-tuk”, dan dari sinilah nama getuk berasal. Sejak saat itu sebagaimana dikutip dari KVDAI Channel getuk menjadi makanan pengganti nasi yang mudah dibuat, murah, dan disukai banyak orang.
Dari krisis pangan, lahirlah simbol ketahanan dan kreativitas rakyat. Getuk menjadi bukti bahwa dalam kesulitan sekalipun, orang Indonesia mampu berinovasi tanpa kehilangan cita rasa.
Baca Juga: 7 Fakta Menarik Asal Mula Serabi, Jajanan Pasar yang Tak Lekang Zaman
2. Filosofi Kesederhanaan dan Kebermanfaatan
Bahan dasar getuk tampak sederhana: singkong dan kelapa parut. Namun, keduanya memiliki makna filosofis yang kuat.
Singkong melambangkan kerendahan hati dan keteguhan hidup. Tanaman ini bisa tumbuh di mana saja, tidak membutuhkan banyak perawatan, dan hasilnya selalu bermanfaat. Walau buahnya tersembunyi di dalam tanah, singkong menjadi sumber makanan penting bagi banyak orang.
Sementara kelapa melambangkan kebermanfaatan. Hampir seluruh bagian pohon kelapa bisa digunakan, mulai dari akar hingga buahnya. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk hidup sederhana, tidak sombong, tetapi memberi manfaat bagi sesama.
Kombinasi antara singkong dan kelapa menjadikan getuk bukan sekadar panganan, tetapi simbol kehidupan yang penuh makna: sederhana dalam wujud, besar dalam manfaat.
3. Ragam Getuk dari Berbagai Daerah
Sebagai makanan tradisional yang tersebar di seluruh Jawa, getuk memiliki banyak varian sesuai dengan daerah asalnya. Setiap daerah memberi sentuhan khas yang membuat rasa dan tampilannya berbeda.
a. Getuk Pisang (Kediri) – Campuran singkong dan pisang yang menghasilkan aroma harum dan rasa manis alami.
b. Getuk Goreng (Sokaraja, Banyumas, Purwokerto) – Varian yang digoreng hingga renyah di luar dan lembut di dalam, sering dijadikan oleh-oleh khas.
c. Getuk Kurung (Klaten) – Dibungkus daun pisang dan dikukus kembali, memberi aroma alami dan rasa gurih lembut.
d. Getuk Lindri (Magelang) – Paling populer dengan bentuk panjang seperti mi dan warna-warni menarik.
e. Getuk Kriyik (Magelang) – Teksturnya lebih padat dan renyah karena digoreng setelah ditumbuk.
Keragaman ini memperlihatkan betapa luasnya kreativitas masyarakat dalam mengolah bahan sederhana. Meski berbeda bentuk dan rasa, semuanya membawa satu kesamaan: cita rasa manis yang menenangkan.
3. Tradisi Grebeg Getuk di Magelang
Magelang, sebagai kota kelahiran getuk, merayakan makanan tradisional ini lewat acara tahunan Grebeg Getuk. Dalam festival tersebut, warga menyusun getuk menjadi dua gunungan besar yang kemudian diarak keliling kota.
Arak-arakan ini disertai gamelan dan tari tradisional, menambah semarak suasana. Setelah prosesi selesai, gunungan getuk akan diperebutkan oleh masyarakat. Perebutan ini bukan sekadar seru-seruan, tetapi melambangkan semangat berbagi rezeki dan kebersamaan warga.
Tradisi ini sekaligus menjadi bentuk penghormatan terhadap sejarah dan budaya lokal. Lewat Grebeg Getuk, generasi muda diingatkan agar tidak melupakan makanan tradisional yang menjadi bagian dari identitas Magelang.
4. Getuk di Era Modern
Meski berasal dari masa sulit, getuk justru mampu beradaptasi di era modern. Kini, makanan ini bisa ditemui di berbagai bentuk dan kemasan. Banyak kafe, toko oleh-oleh, dan UMKM yang berinovasi menghadirkan getuk modern dengan tampilan menarik.
Ada yang menambahkan keju parut, cokelat, bahkan rasa matcha dan stroberi. Ada pula getuk yang dikemas seperti dessert box, menjadikannya tampak lebih kekinian tanpa meninggalkan rasa aslinya.
Inovasi ini membuktikan bahwa getuk bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi warisan yang bisa terus dikembangkan sesuai zaman.
5. Filosofi Manis di Balik Prosesnya
Proses pembuatan getuk mengajarkan nilai kesabaran dan kerja keras. Singkong harus direbus, ditumbuk, dicampur gula, dibentuk, dan ditaburi kelapa. Semua dilakukan dengan tangan dan hati-hati agar hasilnya lembut dan merata.
Setiap langkahnya mencerminkan filosofi hidup orang Jawa: kerja pelan tapi pasti, sederhana tapi penuh makna. Rasa manis getuk seolah menjadi simbol manisnya kehidupan yang dijalani dengan kesabaran dan ketulusan.
6. Getuk Sebagai Warisan Budaya
Lebih dari sekadar makanan, getuk adalah bagian dari identitas kuliner Jawa. Ia menyimpan pesan moral tentang keteguhan, kreativitas, dan kebersamaan. Dalam setiap gigitannya, ada sejarah tentang perjuangan di masa penjajahan, nilai kesederhanaan yang dijunjung tinggi, dan semangat berbagi yang tetap hidup sampai hari ini.
Tak heran jika getuk selalu punya tempat di hati masyarakat. Ia bukan hanya nostalgia masa kecil, tetapi juga pengingat bahwa hal-hal sederhana sering kali menjadi yang paling bermakna.
Getuk telah melampaui fungsinya sebagai makanan. Ia adalah cermin dari karakter bangsa rendah hati, gigih, dan selalu mampu menemukan manisnya hidup dalam setiap tantangan.
Kontributor : Dinar Oktarini
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota