- Kisah Soeprapto Ketjik, pelajar SMP Botton Magelang berusia 16 tahun yang gugur melawan tentara Jepang.
- Serangan Kidobutai 31 Oktober 1945 menewaskan puluhan warga, termasuk tiga siswa SMP Botton.
- Monumen Rantai Kencana dibangun mengenang semangat pelajar pejuang yang berkorban demi kemerdekaan.
SuaraJawaTengah.id - Buku hanya mampu mencatat sedikit sekali peristiwa-peristiwa bersejarah. Ada ribuan insiden, kontak senjata, dan nama-nama mereka yang dilupakan.
Buku sejarah—tanpa mengurangi rasa hormat— ditulis dari satu, mungkin dua sudut pandang. Padahal kronik revolusi fisik Indonesia 1945 begitu luas dan kompleks.
Selain tentu saja persoalan keberpihakan politik, buku sejarah kemudian mimilah siapa tokoh dan peristiwa yang berhak masuk di dalamnya. Makna pahlawan kemudian bias dan rentan konflik kepentingan.
Nama Soeprapto atau Prapto Ketjik muncul sebagai ikhtiar menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah pinggiran. Semacam pencarian lokal hero yang dikenal oleh lingkaran kecil komunitas.
Meski jasanya samar diantara tokoh-tokoh besar pejuang kemerdekaan, nama Soeprapto Ketjik harum dalam komunitas SMP Botton Magelang. Sekolah bahkan membangun monumen di dalam kompleks untuk mengenang jasa remaja berusia 16 tahun itu.
“Monumen Rantai Kencana dibangun untuk mengenang gugurnya beberapa siswa SMP Negeri 1. Dulu terkenal dengan sebutan SMP Botton karena terletak di Jalan Pahlawan, kampung Botton,” kata Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang.
Tiga nama siswa SMP Botton terpatri pada plakat kuningan Monumen Rantai Kencana: Soeprapto Ketjik, Prayitno, dan Sarono.
Menurut buku Sejarah Rantai Kencana yang diterbitkan Alumnus SMP Botton Magelang, saat wafat Soeprapto Ketjik duduk di kelas II. Sedangkan Prayitno dan Sarono masing-masing 17 dan 16 tahun.
Pagi itu 31 Oktober 1945, sekolah sebenarnya dalam situasi libur. Hanya beberapa siswa dan guru yang terlibat palang merah berjaga di sekolah.
Baca Juga: Kisah Mengejutkan Tentara India yang Membela Indonesia di Perang 10 November 1945
Palagan Magelang
Suasana Magelang panas sejak 25 September 1945. Diawali bersitegangnya pemuda dengan pasukan Jepang yang bermarkas di Jalan Tidar (sekarang SMK Wiyasa Magelang).
Sebelumnya, para pemuda merespon Proklamasi di Jakarta dengan menempelkan plakat Merah Putih di beberapa tempat strategis di Magelang.
Di depan Hotel Nitaka, serdadu Jepang memukuli pemuda yang kedapatan menempelkan plakat Merah Putih. Insiden itu memicu pengepungan markas Kempetai oleh ratusan pemuda. Mereka menuntut tentara Jepang dilucuti.
Perundingan gagal mencapai kesepakatan. Prajurit Jepang menolak menyerahkan senjata dan para pemuda terpaksa bubar dengan hati kesal.
Esok paginya, sekelompok pemuda mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Tidar. Tujuannya mendahuli apel pengibaran bendera Jepang di markas Kempetai tak jauh dari situ.
Upacara mendadak itu mengundang ratusan orang berkumpul. Saat hendak kembali pulang, rombongan disambut berondongan tembakan.
Tentara Jepang di markas Kempetai panik melihat ratusan orang berjalan menuju markas. Lima pemuda tewas dalam pembantaian itu.
Meski tidak ditemukan kabar adanya serangan balik dari pemuda, api perlawanan membara dalam sekam. Para pemuda menunggu saat yang tepat untuk kembali angkat senjata.
Selang beberapa hari, pasukan Sekutu yang mendarat di Semarang, 20 Oktober 1945, telah tiba di Magelang. Dibawah seorang pemimpin Inggris, Brigjen RG Bethell, mereka masuk kota dan membebaskan para tawanan interneer.
Selain melucuti tentara Japang, pasukan NICA yang datang bersama Sekutu menduduki sejumlah markas strategis. Mereka juga mempersenjatai para tawanan Belanda.
Penyerbuan SMP Botton
Pada 28 Oktober 1945, pukul 5 pagi, serangan umum Magelang dimulai. Tentara Keamanan Rakyat menyerbu pertahanan Sekutu di Lapangan Badaan, Kader School, Zusteraan, dan Rumah Sakit Tentara.
Pukul 11 siang Sekutu menyerah. Diam-diam mereka mengirim pesan kepada pasukan gerak cepat Jepang, Kidobutai di Semarang, bahwa pasukannya di Magelang termasuk Jenderal Nakamura dibunuh oleh pemuda.
“Padahal itu fitnah. Jepang menyerbu Magelang tanggal 31 Oktober 1945. Mereka menembaki masyarakat di jalanan. Termasuk menyerbu kampung Botton, dukuh Tulung,” ujar Bagus Priyana.
Sebelum masuk kota, pasukan Kidobutai dibagi dalam beberapa regu. Sebagian menyisir Kali Bening hingga kampung Tulung, lainnya merintis jalan utama.
Korban serbuan ke kampung Tulung diperkirakan mencapai 50 orang. Korban sangat banyak karena di lokasi itu terdapat dapur umum tempat berkumpulnya tentara pejuang.
Pasukan Kidobutai mengamuk di sepanjang jalan Botton, Potrobangsan dan Badaan ke arah Tuguran. Gedung SMP Botton yang saat itu dijaga oleh beberapa guru dan murid tak luput dari serangan.
“SMP Botton letaknya juga strategis. Sehingga di SMP ini banyak guru dan siswa yang masih berlindung akhirnya ditawan oleh Jepang.”
Masih dari buku Sejarah Rantai Kencana, diceritakan bahwa tentara Jepang menembak kaki Kepala Sekolah, Siagian dan menganiaya guru FX Surjowidagdo.
Prapto Ketjik Gugur
Beberapa siswa putri digiring dan dikumpulkan di depan Balairung. Di bawah todongan senjata dan bayonet, para tawanan diperintahkan jongkok dengan tangan di atas kepala.
Dalam situasi genting, Suprapto Ketjik mengendap-endap turun dari boog kotta leiding. Saluran air tengah kota yang mengalir dari Kali Manggis itu berada persis di belakang sekolah.
Mengenakan helm baja, Suprapto Ketjik turun meniti saluran air. Tiba di lokasi tersembunyi di sudut belakang sekolah, dia membidikan senjata karabinnya ke salah seorang tentara Jepang.
“Dia datang dari timur lewat saluran air, lalu turun ke bawah. Merunduk, pengennya menyelamatkan para siswa dan guru-guru sekolahnya. Tapi keburu ketahuan tentara Jepang dan ditembak.”
Suprapto tewas dengan luka tembak pada kepala bagian belakang. Rupanya ada tentara Jepang yang juga menyisir boog kotta leiding dan menguntitnya dari belakang.
Dari SMP Botton pasukan Kidobutai bergerak ke kantor pegadaian di sebelahnya. Sarono, siswa SMP Botton yang juga putra kepala kantor pegadaian tewas ditembak.
Korban ketiga siswa SMP Botton adalah Prayitno. Dia ditembak saat serdadu Jepang menyerang kampung di Potrobangsan dan Tulung.
Rantai Kencana
Beberapa sumber menyebutkan, tahun 1947 atas inisiatif para murid, di titik tertembaknya Suprapto dibangun Monumen Rantai Kencana. Monumen dipugar tahun 1994 yang diresmikan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Mien Sugandi.
Mencocokan dari foto monumen sebelum pemugaran, letaknya sekarang lebih ke belakang sekira 6 meter dari posisi semula. Titik tertembaknya Suprapto Ketjik kini ditandai tonjolan batu hitam.
Suprapto Ketjik adalah anak keenam dari Prawiro Soekarto, pengrajin dandang tembaga satu-satunya di Magelang. Selama sekolah di SMP Botton, Prapto tinggal bersama kakak perempuanya Tugiyah di daerah Magersari.
Tugiyah menikah dengan Muhammad Dimyati, anak sulung Padmo Soekarto, juragan kelapa sekaligus Carik Kaliangkrik. Pada masa itu pernikahan anak sesama juragan besar umum ditemui.
Ikut memanggul senjata sepertinya menjadi panggilan hati setiap pemuda pada masa perang kemerdekaan. Rantai Kentjana yang semula adalah organisasi intra sekolah di SMP Botton, ikut ambil bagian pada revolusi fisik.
Tidak terbatas pada kegiatan olahraga, kesenian, dan sosial budaya, Rantai Kentjana menjadi wadah menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan menyiapkan tunas muda menyongsong kemerdekaan.
Rantai Kentjana bersama SMP Putri, SKP, Sekolah Pertukangan, Sekolah Guru Putra-Putri, dan Sekolah Pertanian Mertoyudan, membentuk Gabungan Sekolah Menengah Magelang (GSM) pada September 1945.
Terpilih Ketua Umum GSM, Soemartono yang juga teman seangkatan Soeprapto Ketjik di SMP Botton. Soemartono kemudian bergabung dengan Corps Pelajar Siliwangi (CPS) Be 17 dan tewas di front perjuangan Kuningan, Jawa Barat pada Maret 1949.
Delegasi Gabungan Sekolah Menengah Magelang kemudian terlibat Kongres Pemuda Pelajar Indonesia yang menjadi cikal bakal Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) hingga terbentuknya Tentara Pelajar (TP).
Pejuang Pelajar
Hingga terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1949, Tentara Pelajar turut bertempur bersama Tentara Keamanan Rakyat. Secara tidak langsung peraturan itu menandai berakhirnya masa tugas Tentara Pelajar dalam revolusi nasional.
Seluruh tentara pelajar baik yang tergabung dalam TP, Tentara Genie Pelajar (TGP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), dan Corps Pelajar Siliwangi kembali ke sekolah.
Melalui Kantor Demobilisasi Pelajar, mereka mendapat tunjangan uang saku Rp200 hingga Rp300 per bulan.
“Ini yang menarik. Setelah selesai perang revolusi, para tentara pelajar ini kembali ke sekolah. Disatu sisi mereka ikut berjuang, disisi ketika perang usai, mereka kembali ke bangku sekolah.”
Hingga kini belum ditemukan data resmi jumlah pasti tentara pelajar yang terlibat perang kemerdekaan. Nama-nama mereka yang tak pernah menuntut dicatat dalam sejarah.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Mobil Bekas dengan Sunroof Mulai 30 Jutaan, Kabin Luas Nyaman buat Keluarga
- 6 Mobil Bekas untuk Pemula atau Pasangan Muda, Praktis dan Serba Hemat
- Sulit Dibantah, Beredar Foto Diduga Ridwan Kamil dan Aura Kasih Liburan ke Eropa
- 5 Mobil Bekas 3 Baris 50 Jutaan dengan Suspensi Empuk, Nyaman Bawa Keluarga
- 5 Motor Jadul Bermesin Awet, Harga Murah Mulai 1 Jutaan: Super Irit Bensin, Idola Penggemar Retro
Pilihan
-
Bencana Sumatera 2025 Tekan Ekonomi Nasional, Biaya Pemulihan Melonjak Puluhan Triliun Rupiah
-
John Herdman Dikontrak PSSI 4 Tahun
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
4 Rekomendasi HP Xiaomi Murah, RAM Besar Memori Jumbo untuk Pengguna Aktif
-
Cek di Sini Jadwal Lengkap Pengumuman BI-Rate Tahun 2026
Terkini
-
5 Langkah Mengamalkan Surat Yasin untuk Ikhtiar Rezeki dan Dagangan Laris
-
Banjir Sumatera, Ketua Komjak RI Ungkap Cara Licik Alih Fungsi Hutan
-
Rayakan Natal 2025, BRI Peduli Hadirkan Bantuan Sembako bagi Masyarakat di Berbagai Wilayah
-
Mencetak 'Santri Garuda': Ikhtiar Darul Amanah Kendal Merevolusi Wajah Pesantren di Indonesia
-
5 Perbedaan Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia yang Sering Dianggap Sama