SuaraJawaTengah.id - Peringatan Maulid Nabi di SMK Syubbanul Wathon 2, Desa Girikulon, Secang, Magelang tahun ini berbeda dari biasanya. Peringatan diselengarakan dalam balutan pergelaran seni dan budaya yang sarat nilai keberagaman.
Bekerja sama dengan Komunitas Lima Gunung, peringatan Maulid Nabi (Muludan) di Ponpes Syubbanul Wathon 2 tidak sekadar menampilkan sisi religius tapi juga sarat pesan moral kemanusiaan yang universal.
Ketua Yayasan Syubbanul Wathon, Muhammad Yusuf Chudlori mengatakan, peringatan Maulid Nabi menjadi momentum pengingat bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam.
"Di dunia ini kita tidak sendiri. Kita harus belajar dan berinteraksi dengan semuanya. Kita bisa mengambil ilmu dari Jepang, ilmu kanuragan dari India, atau mencari vaksin ke China,” kata Gus Yusuf, Jumat (23/10/2020).
Baca Juga:Kerabat Jokowi Dibunuh Sadis, Suami: Pelaku Harus Dihukum Mati!
Menurut Gus Yusuf, alam raya dapat diibaratkan sebagai pesantren. Nabi Muhammad diutus mengajarkan kasih sayang dan pengetahuan untuk seluruh penghuni alam.
“Alam raya ini pesantren untuk kita semua. Kiyai kita semua adalah Rasulullah SAW. Beliau adalah Kiyai rahmatan lil alamin,” ujar Gus Yusuf.
Maulid Nabi juga merepresentasikan rasa sukur seluruh umat manusia dengan ekspresi masing-masing. Komunitas Lima Gunung diberi kesempatan untuk mengekspresikan rasa sukur itu melalui pergelaran seni.
“Kami memberikan ruang untuk kebersamaan antara santri dan Komunitas Lima Gunung. Pesantren maulidnya dengan cara seperti ini, teman-teman Komunitas Lima Gunung juga punya cara memperingati Maulid Nabi. Semua bertemu dalam konsep rahmatan lil alamin.”
Peringatan Maulid Nabi dalam pergelaran seni, sekaligus menjadi cara Syubbanul Wathon dan Komunitas Lima Gunung menyampaikan doa keprihatinan tanpa meninggalkan kegembiraan.
Baca Juga:Pembunuhan Kerabat Jokowi Karena Hutang, Ini Penjelasan Kapolda Jateng
Menurut Gus Yusuf, hati yang gembira dapat menjadi penangkal penyakit. “Kegembiraan adalah obat tersendiri. Menambah imun dan kekuatan bangsa Indonesia. Dalam menghadapi pandemi, selain berdoa kita tidak lupa untuk selalu berbahagia.”
Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryanto mengatakan, Muludan di Pondok Pesantren Syubanul Wathon 2, sekaligus menjadi ajang menggelar rangkaian Festival Lima Gunung tahun 2020.
Beradaptasi dengan situasi pandemi, untuk mengantisipasi kerumunan festival tidak dipusatkan di satu lokasi. Ini berbeda dengan penyelenggaraan Festival Lima Gunung pada tahun-tahun sebelumnya.
“Pak Tanto sebagai Presiden Lima Gunung, banyak menghasilkan gagasan baru. Biasanya di tahun-tahun lalu, Festival Lima Gunung hanya diadakan sekali selama 1 sampai 3 hari. Saat ini kita bisa berganti-ganti tema, berpindah lokasi. Kita pun tetap bisa berkreasi,” kata Supadi.
Rangkaian Festival Lima Gunung tahun ini sudah diadakan 8 kali di lokasi yang terus berpindah-pindah. Pementasan sering diadakan di daerah terpencil dengan pemberitahuan terbatas.
Selain menguji kesiapan para seniman agar mampu menyiapkan pergelaran di waktu yang sempit, cara ini juga untuk menghindari kumpulan penonton.
Pada pergelaran di Pondok Syubbanul Wathon 2, Girikulo, Secang, Festival Lima Gunung mengambil tema “Pesan Desa Gunung untuk Ibu Kota”.
Para seniman menyampaikan pesan agar masyarakat kota dan para pemimpin di Ibu Kota kembali meneladani kehidupan masyarakat desa. Kearifan lokal dan cara hidup masyarakat desa terbukti berhasil mengatasi masa-masa sulit seperti saat ini.
“Pengalaman selama Covid ini yang akan saya utarakan. Selama 6 bulan ini saya banyak menemukan manajemen desa, manajemen finansial desa, cara kerja praktis desa, cara mengelola makanan desa, ternyata menginspirasi,” kata Presiden Lima Gunung, Sutanto Mendut.
Manajemen pertunjukan ala desa itu yang kemudian diadaptasi dalam penyelenggaraan Festival Lima Gunung tahun 2020. Hasilnya, Sutanto Mendut mengaku berhasil menghasilkan 38 produksi seni dan 8 seri rangkaian Festival Lima Gunung yang digelar di Wonosobo dan Magelang.
“Ilmu-ilmu yang ada sekarang diambil dari wilayah orang-orang yang tidak terkenal seperti Pak Supadi, Ki Rekso Jiwo, itu petani di sekitar Merbabu dan Merapi di sekitar Kandaan. Di Kandaan ditemukan manuskrip peradaban.”
Pidato “Pesan Desa Gunung untuk Ibu Kota” disampaikan Gus Yusuf dan Sutanto Mendut dari atas instalasi seni, berupa kursi bambu yang dibangun setinggi 2,5 meter. Di bawahnya para seniman menampilkan tarian yang bermakna doa bagi keselamatan negeri.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi